Jumat 23 Jul 2021 05:36 WIB

Belajar dari Pandemi: Tuntutan Pendidikan Vs Peran Keluarga

Karakter disiplin dan optimistis anak dapat dibentuk dari individu dan keluarga

Meningkatnya jumlah positif Covid-19 menyebabkan wacana belajar tatap muka batal diselenggarakan. Orang tua harus kembali mendampingi anak belajar dari rumah. (ilustrasi).
Foto: ASEP FATHULRAHMAN/ANTARA
Meningkatnya jumlah positif Covid-19 menyebabkan wacana belajar tatap muka batal diselenggarakan. Orang tua harus kembali mendampingi anak belajar dari rumah. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Eko Sriyanto, Manajer Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa Pendidikan

Pada 26 Juni 2021 tercatat peningkatan jumlah kasus posistif harian mencapai 21 ribu orang. Tren data tersebut belum menunjukkan akan terjadi penurunan secara siginifikan, bahkan diprediksi akan meningkat dalam beberapa pekan ke depan jika tidak ditangani dengan baik. Kondisi ini tidak menutup kemungkinan bahwa rumah sakit berpotensi colaps.

Di sisi lain, Nadiem Makarim, Mendikbudristek, tengah mewacanakan memulai kembali pembelajaran tatap muka di sekolah. Salah satu upaya mewujudkannya yaitu mendorong vaksinasi kepada tenaga pendidik hingga akhir Juni lalu. Tapi gayung tak bersambut, karena tidak berbanding lurus dengan tren lonjakan penularan Covid-19 di Indonesia. Lalu bagaimana nasib pembelajaran di sekolah?

Data dari UNESCO (2021) menyebutkan terdapat 27 sekolah yang menutup sekolah di masa pandemi, baik secara penuh maupun hanya sebagian. Total pelajar yang terkena dampak lebih dari 174 juta siswa, artinya 10 persen dari jumlah siswa yang terdaftar.

Potensi learning loss menyebabkan penurunan pencapaian kualitas pendidikan bagi siswa. Pun potensi ini bisa saja mengancam keberlangsungan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Dampak ini diproyeksi mempengaruhi skor PISA turun dari 371 menjadi 350 dan penurunan penghasilan pascalulus mencapai 5,299 dolar AS per tahun dari angka dasar 5,783 dolar AS.

Dompet Dhuafa Pendidikan melakukan penelitian tentang belajar dari rumah pada 2020 dengan responden sebanyak 343 guru dan 223 orang tua. Ada 65 persen mayoritas guru menyatakan proses pembelajaran dari rumah tidak efektif dan 16 persen menyampaikan keragu-raguannya.

Para guru mengaku jika ada beberapa permasalahan ketika melakukan pembelajaran dari rumah, sebanyak 29.18 persen kesulitan melakukan monitoring, 25.64 persen terbentur di pengeluaran pulsa internet lebih tinggi, 13.31 persen tidak fokus menyelesaikan bahan ajar, 10.76 persen pekerjaan administratif menumpuk maupun tertunda, 7.22 persen kesulitan dalam pengembangan kapasitas, 6.37 persen kesulitan berkomunikasi dengan orang tua, 5.52 persen kesulitan koordinasi di sekolah, dan 1.97 persen penyebab lainnya.

Tantangan tidak hanya terjadi pada guru, tetapi juga di rumah, baik bagi siswa maupun orang tua. Persoalan yang dihadapi siswa selama pembelajaran di rumah antara lain 80,47 persen siswa kesulitan belajar, 7.27 persen tidak berdisiplin dalam pembelajaran, 2.62 persen peningkatan kekerasan di rumah, dan 2.33 persen mengalami kendala infrastruktur di rumah.

Bagi orang tua, pembiasaan pembelajaran dari rumah masih belum terbangun karena beragam kendala, sebanyak 29.71 persen siswa belajar jika diminta, 16.97 persen terbatasnya media pembelajaran, 14.49 persen orang tua sibuk dengan pekerjaan, 11.59 persen guru memberikan tugas tanpa evaluasi, 7.25 persen adanya gangguan dari lingkungan, dan 6.51 persen kurangnya komunikasi dengan pihak sekolah.

Hal di atas berkorelasi linear dengan hasil penelitian Kemendikbud (2020), di mana anak mengalami hambatan belajar dari rumah. Kendala tersebut terlihat dari sebanyak 59.9 persen kesulitan memahami pelajaran, 52 persen kurang konsentrasi, 51,7 persen tidak bisa bertanya langsung kepada guru, 46.7 persen merasa bosan, 38.9 persen jaringan internet kurang memadai, 24 persen tidak bisa bertanya langsung dengan teman, 17.6 persen tidak ada yang mendampingi, dan 12.9 persen untuk penyebab lain.

Penelitian ini menujukkan bahwa persoalan perangkat masih menjadi kendala, yaitu 40.3 persen terhambat karena komputer atau laptop, 6.7 persen gadget, dan 4.4 persen internet, dan 0.6 persen listrik.

Melihat berbagai tantangan di atas, tidak salah jika muncul kekhawatiran bahwa learning loss akan terjadi di Indonesia, sehingga wacana kembali ke pembelajaran tatap muka cukup serius disampaikan oleh pemerintah. Layaknya buah simalakama yang tidak memiliki risiko pada semua pilhan yang saat ini tersedia karena pembelajaran tatap muka bisa memicu penularan Covid-19 yang lebih masif.

Selain kebijakan pemenuhan terhadap masalah infrastruktur penunjang proses pembelajaran, pemerintah pun perlu menguatkan kapasitas guru dalam belajar efektif daring berbasis teknologi, penguatan kurikulum dan pengembangan teknologi itu sendiri. Walaupun tugas melakukan mitigasi atas dampak pandemi tidak hanya bertumpu pada pemerintah semata, tetapi menjadi tugas seluruh elemen masyarakat.

Pandemi seharusnya memberi peluang untuk mengembalikan fungsi pendidikan kepada keluarga. Terbangunnya kesadaran peran keluarga dan masyarakat mendorong terciptanya ekosistem pendidikan yang sehat. Keluarga berperan sentral terlihat pada proses pendampingan belajar anak, menyediakan sarana dan akses sumber belajar.

Upaya ini bukan tanpa tantangan, terjadinya perubahan keuangan keuargan, interaksi dan kontrol sosial masyarakat di masa pandemi sangat rentan terjadi konflik. Selain itu, rendahnya kecakapan orang tua dalam mendampingi belajar dan tidak adanya pembagian peran keluarga.

Peningkatan kapasitas bagi keluarga menjadi kunci supaya pendidikan anak di masa pandemi tetap efektif. Tumbuhnya kesadaran orang tua akan mengembalikan berbagai fungsi keluarga dalam pendidikan, termasuk pembagian peran ibu dan ayah.

Bentuk-bentuk pembagian peran bisa dengan cara bergantian secara adil mendampingi anak belajar dan menyusun proyek bersama keluarga untuk pengembangan keterampilan baru. Dengan demikian anak akan mendapatkan pengalaman belajar yang berbeda.

Orang tua harus memahami kondisi dan perkembangan anak supaya pengembangan peran sesuai dengan kondisi psikologis anak. Banyak anak (dan remaja) mengalami peningkatan emosi negatif yang menyebabkan keputusasaan, bahkan kasus bunuh diri anak meningkat.

Emosi negatif memperlemah kerja cortex dan transmisi neurotransmitter pada syaraf otak, dimana mengakibatkan anak dalam tekanan sekaligus tidak fokus dalam proses belajar. Dalam penanggulangan faktor risiko di atas diperlukan individu yang kuat, resisten, tekun, disiplin, optimistis dan pantang menyerah, dimana karakter tersebut hanya dapat dibentuk pada tingkat individu dan keluarga.

Dengan berbagai pertimbangan di atas, diperlukan sistem pendidikan yang terintegrasi serta membentuk rasionalitas, emosi dan perilaku pada siswa secara berimbang. Prinsip sistem pendidikan ini pembelajaran berbasis perkembangan otak dan kebermanfaatan bagi masyarakat.

Pola pengasuhan yang efektif di masa pandemi dalam mendampingi belajar berdasarkan pada pembagian peran yang saling menguntungkan, membantu, melindungi, memberi dan berkoordinasi. Tidak sekadar meningkatkan efektivitas anak dalam belajar di rumah, tetapi mampu mengurangi tingkat stres dan meningkatkan keharmonisan keluarga.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement