REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI), Saleh Husin menjelaskan, proses perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 menjadi PP Nomor 75 tahun 2021 tentang Statuta UI, melalui proses panjang. Hal itu sudah berlangsung sejak 2019 hingga akhirnya diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Kalau tidak salah, pada April 2020 dibentuk tim kecil, tetapi seingat saya pada Maret 2020 atas inisiatif DGB, tim kecil ini sudah mulai rapat. Di tim kecil itu niatnya untuk memformulasikan masukan setiap organ, tetapi tidak pernah match (ketemu). Akhirnya mentah dan balik ke masing-masing organ untuk dibahas lagi dan penambahan masukan," ujar Saleh di Jakarta, Jumat (23/6).
Proses itu, kata Saleh, dimulai dengan menampung usulan dari empat organisasi di UI, yakni MWA, Dewan Guru Besar (DGB), Senat Akademik (SA), dan Eksekutif/Rektorat.
Masing-masing organisasi mengusulkan substansi perubahan Statuta UI. Masukan dari setiap organisasi itu, sambung dia, kemudian dibahas oleh tim kecil yang dibentuk oleh rektor untuk mensinkronisasi substansi perubahan dalam daftar inventarisasi masalah. Tim kecil ini bekerja selama dua bulan.
Tim yang bekerja dua bulan itu, kata Saleh, bubar pada Juni 2020. Dan pembahasan Statuta UI pun sempat vakum. Namun, akhirnya dibentuk tim kecil kedua pada September 2020, yang berisi 12 orang yang merupakan perwakilan dari masing-masing organisasi.
Mereka adalah Prof Ari Kuncoro, Agustin Kusumayati, dan Abdul Haris yang mewakili Eksekutif. Lalu, Bambang PS Brodjonegoro, Yosi Kusuma Eriwati, dan Fredy Buhama Lumban Tobing mewakili MWA; Harkristuti Hakrisnowo, Lindawati Gani, dan Ine Minara S Ruky (DGB); serta Nachrowi Djalal Nachrowi, Frieda Maryam Manungsong Siahaan, dan Surastini Fitriasih (SA).
Dalam catatan Republika, Ari Kuncoro merupakan koordinator Tim Revisi Statuta UI. Tim diresmikan pada 28 September 2020 yang ditandatangani Ari Kuncoro. Adapun 11 anggota lainnya, merupakan angota tim revisi.
"Setelah itu, berproseslah mereka (tim kecil kedua), tetapi tidak juga menghasilkan sinkronisasi dan kesimpulan. Tim kedua ini akhirnya bubar karena hanya diminta bekerja selama dua bulan," ucap Saleh yang juga mantan Menteri Perindustrian itu.
Proses pembahasan usulan revisi berlanjut di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Rapat digelar oleh Kemendikbud dengan menghadirkan perwakilan dari masing-masing organisasi UI, yaitu Eksekutif, MWA, DGB, dan SA.
"Mereka hadir untuk menyampaikan masukan-masukan, termasuk juga Bambang Brodjonegoro mewakili MWA, yang waktu itu masih sebagai menteri. Namun, dalam rapat tersebut juga tidak ada titik temu. Masing-masing mempertahankan masukan mereka," kata Saleh bercerita.
Perlu konsentrasi
Pembahasan tentang perubahan Statuta UI mandek lagi sampai akhirnya Kemendikbud mengundang berbagai menteri terkait, yakni Menkeu, Menkumham, Mensesneg, Menko PMK, Menteri PAN dan RB, serta perwakilan UI.
Kehadiran perwakilan UI kali ini bukan dari organisasi, melainkan UI sebagai institusi, dalam hal ini rektor dan dapat diwakilkan oleh rektor. Pembahasan revisi PP tentang Statuta UI itu berjalan lancar hingga naskah final revisi PP itu sampai di meja Presiden Jokowi.
"Jadi, semua sesuai mekanisme dan tata aturan yang berlaku. Ini sudah menjadi keputusan dan sudah diteken Presiden, tentu kita menghormati keputusan itu. Dalam hal ini, MWA diamanahkan membuat aturan turunannya," ujar Saleh
Menurut Saleh, ada banyak hal yang berubah di dalam PP itu, tetapi yang menuai perhatian adalah Pasal 35 huruf c. Pada PP lama, yakni PP Nomor 68 Tahun 2013, pasal itu berbunyi, “Rektor dan Wakil Rektor dilarang merangkap sebagai pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta”.
Kemudian, pada PP yang baru, yakni PP Nomor 75 Tahun 2021, bunyi Pasal 35 huruf c diubah menjadi, "Rektor dan Wakil Rektor dilarang merangkap sebagai direksi pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta".
Saleh mengatakan, dalam pandangan MWA, Pasal 35 huruf c pada PP yang lama multitafsir sehingga perlu dibuat lebih jelas. Sebab, ujarnya, definisi pejabat seperti yang ada di PP Nomor 68 Tahun 2013 sangat luas.
"MWA menilai, yang namanya pejabat itu adalah orang yang day to day bekerja untuk perusahaan, yaitu jajaran direksi. Maka, pada PP yang baru diperjelas langsung direksi," ucapnya.
Pemahaman MWA itu sesuai dengan naskah hasil revisi yang diteken Presiden Jokowi pada 2 Juli 2020. Terkait dengan keputusan Rektor UI Ari Kuncoro yang akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari kursi Wakil Komisaris Utama (Wakomut) BRI, Saleh enggan berkomentar banyak.
"Tentu keputusan yang diambil Pak Rektor, kami apresiasi. Ini keputusan bijak, legowo, dan harus dihargai," kata Saleh.
Dia menekankan, MWA melihat statuta UI yang baru itu mengatur berbagai hal. Tujuannya agar UI lebih cepat menghadapi tantangan global dan meningkatkan ranking universitas. "Jadi, memang tentu perlu ada konsentrasi dan kerja keras dari Pak Rektor," kata Saleh.
Ari Kuncoro yang menjabat sebagai Rektor UI sejak 4 Desember 2019 sampai saat ini memutuskan untuk mundur sebagai Wakomut BRI. Dia diangkat menjadi Wakomut BRI berdasarkan Hasil Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada 18 Februari 2020. Ari sebelumnya juga menjabat sebagai Komut BNI.
Mundur
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra mengkritisi sikap Rektor UI Ari Kuncoro yang mundur dari Wakomut BRI pada Rabu (21/7). Dia meminta Ari sejak awal menentukan posisi yang akan diambil.
"Jangan berkelit dengan berbagai dalih yang sebenarnya tidak relevan demi menjaga integritas, peka pada tanggung jawab. Gentelman dong kalau mimpin perguruan tinggi itu harus jadi contoh dalam penegakan hukum dan kode etik," kata Azmi di Jakarta, kemarin.
Azmi menilai mundurnya Ari dari Wakomut BRI sudah telat. Dia menganjurkan Ari mundur dari kedua jabatannya, baik sebagai Rektor UI maupun sebagai komisaris BRI sebagai konsekuensi tanggung jawab.
"Karena begitu terlihat oleh publik sikap pimpinan UI telah merubuhkan etika, tidak mampu memperlihatkan kualitas maka seketika dianggap pemimpin telah melakukan ketidakadilan dan adanya anomali moral jabatan publik," ujar Azmi.
Selain itu, Azmi mengingatkan, pemerintah agar lebih teliti dan hati hati dalam merubah aturan. Sehingga tidak bisa membuat peraturan dengan asal asalan karena dampaknya akan menimbulkan kekacauan di publik saat dijalankan.
"Perubahan statuta tidak sebagai alat pembenar pelanggaran selama ini, pelanggaran statuta tidak selesai hanya dengan mengubah statuta saja jadi harus taat asas, memahami makna tujuan UU Pendidikan Tinggi," ucap Azmi.