REPUBLIKA.CO.ID, Nyaris dua tahun Indonesia dihantam badai virus Covid-19. Selama itu pula hingga 23 Juli 2021, 79 ribu nyawa melayang. Di antara puluhan ribu nyawa itu, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mencatat 458 korban adalah dokter.
“Di Juli saja sudah 35 orang,” kata Ketua Tim Mitigasi PB IDI, dr Adib Khumaidi. Angka kematian pada dokter meningkat hingga tujuh kali lipat. Pada Januari 2021 ada 65 dokter meninggal, Februari (31 orang), Maret (16 orang), April (8 orang), Mei (7 orang), Juni (48 orang). "Dan sampai pekan pertama Juli ini sudah 35 dokter yang meninggal," kata dr Adib.
Di tengah situasi perang itulah, PB IDI mempersiapkan sejumlah skema penambahan sumber daya manusia (SDM) guna mengoptimalkan penanganan Covid-19. Dokter Adib ada mengatakan, ada dua skema yang disiapkan IDI.
Skema pertama yang disiapkan, yakni dokter umum yang sudah menyelesaikan internship bisa disiapkan membantu di pelayanan fasilitas kesehatan. Skema lainnya, lanjut dia, yakni mahasiswa kedokteran yang sudah lulus dan mendapatkan sertifikasi uji kompetensi profesi dokter, sudah bisa menjalankan pekerjaan.
"Yang baru lulus, kalau sudah uji kompetensi," kata dia. Prinsipnya dokter yang sudah selesai uji kompetensi dan sertifikat kompetensi itu teregistrasi, maka mereka sudah bisa menjalankan pekerjaan.
IDI mengusulkan ke Kementerian Kesehatan untuk mengonversi internship-nya menjadi tim bantuan yang ada di fasilitas kesehatan yang saat ini membutuhkan. Jadi pascalulus uji kompetensi dan sudah teregistrasi, dokter baru bisa menjalankan praktik pelayanan internship. "Seperti yang telah kami lakukan untuk Wisma Atlet," kata dia. Skema konversi itu masih menunggu persetujuan Kemenkes. Nantinya untuk mengisi relawan di daerah yang membutuhkan tenaga kesehatan dalam penanganan Covid-19.
Sayangnya laporan terbaru menyebutkan, sekitar 3.500 mahasiswa fakultas kedokteran yang telah lulus tidak bisa membantu penanganan pandemi Covid-19. Salah satu hambatan para lulusan fakultas kedokteran itu yakni uji kompetensi di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek).
Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dokter Slamet Budiarto mengatakan, 3.500 mahasiswa fakultas kedokteran yang sudah lulus fakultas kedokteran, belum disumpah, belum dapat ijazah karena harus uji kompetensi. Padahal menurut dokter Slamet di negara lain seperti Amerika Serikat maupun Inggris mempercepat kelulusan para tenaga kesehatan (nakes). Dalam kondisi Covid-19 yang semakin mengganas seperti sekarang ini, jumlah dokter masih sangat kurang. Terlebih, banyaknya kasus dokter yang ikut terpapar Covid-19 sehingga harus menjalani isolasi mandiri.
"(Para lulusan fakultas kedokteran) bisa dipekerjakan nantinya sebagai pendamping (pasien) isoman (isolasi mandiri)," kata dokter Slamet.
Slamet menyayangkan jika para lulusan fakultas kedokteran kedokteran ini diharuskan mengikuti uji kompetensi di tengah situasi darurat saat ini. Padahal, Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta Kementerian Kesehatan telah menyetujui agar mahasiswa fakultas kedokteran yang baru lulus bisa langsung melakukan praktik.
Organisasi kedokteran seperti IDI dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), kata Slamet, juga sudah memberikan kelonggaran agar para calon dokter itu bisa segera membantu penanganan pandemi Covid-19. Jumlah nakes yang menangani pasien Covid-19 sudah tidak cukup, seiring pertambahan kasus yang melonjak tajam. Ketidakseimbangan meningkatnya kasus Covid-19 dengan jumlah nakes yang ada kian diperparah dengan banyaknya nakes yang terkonfirmasi positif, hingga meninggal dunia.
Mandeknya jalan para dokter baru itu ikut terjun langsung dalam perang melawan Covid-19, mendapatkan perhatian dari Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda. Dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Huda menyayangkan gagalnya 3.500 mahasiswa fakultas kedokteran yang telah lulus untuk membantu penanganan Covid-19 akibat persyaratan administrasi.
Karena itu, ia meminta meminta Ditjen Dikti Kemendikbud Ristek melakukan relaksasi terkait aturan uji kompetensi sehingga para mahasiswa kedokteran yang telah lulus bisa segera turun membantu tenaga kesehatan (nakes) di lapangan. Ia menyebut, kita saat ini dalam situasi darurat kesehatan, sehingga kekurangan nakes untuk membantu menangani pandemi Covid-19. "Jangan sampai mereka yang sebenarnya sudah punya kemampuan dasar dalam menangani pasien, terpaksa tidak bisa membantu karena terganjal persoalan administratif," kata Huda.
Huda menilai, terkait Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) Nasional memang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter Pasal 36 ayat 1. Mahasiswa kedokteran yang telah lulus harus menjalani ujian tersebut sebelum diambil sumpah sebagai dokter dan turun ke lapangan.
Kendati demikian, persyaratan administratif bisa sementara diabaikan karena memang saat ini kondisi sedang darurat. "Justru dengan langsung turun ke lapangan menangani pasien mereka akan lebih teruji dengan berbagai kasus-kasus nyata selama pandemi,” ujar Huda.
Para mahasiswa lulusan kedokteran ini bisa menangani para pasien Covid-19 yang sedang melakukan isolasi mandiri (isoman). Apalagi saat ini pemerintah tengah mengembangkan layanan telemedicine mengingat terbatasnya kapasitas fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dibandingkan dengan jumlah pasien Covid-19. Mereka bisa mendampingi dan mengawasi pasien yang isoman melalui aplikasi telemedicine. "Atau video call,” katanya.
Politikus PKB ini meminta agar Mendikbud Ristek Nadiem Makarim mengambil langkah cepat mengatasi masalah ini. Apalagi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, bahkan Presiden Joko Widodo sudah setuju untuk menarik sebanyak-banyaknya relawan dari mahasiswa kedokteran maupun perawat di tingkat akhir yang bisa membantu mengurangi beban nakes.
“Kami meminta Mas Menteri (Nadiem) segera mengambil alih persoalan ini," ujar Huda meminta. Jangan karena persoalan administratif atau ego sektoral, peluang untuk menambah nakes untuk mengendalikan pandemi ini terhambat.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nizam angkat bicara kasus tersebut. Nizam mengatakan, salah satu hasil belajar selama pandemi adalah evaluasi pendidikan kedokteran dan kesehatan. Pendidikan tinggi perlu menghadirkan kurikulum yang adaptif untuk penanganan pandemi dan tantangan kesehatan global.
Kolaborasi antara dosen, mahasiswa dan pimpinan perguruan tinggi sangat penting dalam implementasi kurikulum adaptif ini. Sehingga mahasiswa dapat berperan relevan dengan capaian pembelajarannya. "Serta mendapatkan pendampingan yang efektif dari para dosen," kata Nizam, akhir pekan lalu.
Pendidikan kedokteran dan kesehatan sebagai bagian dari pendidikan tinggi selalu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah...