Oleh : Ani Nursalikah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Setiap Idul Adha tiba, kita kembali diingatkan kisah dalam Alquran mengenai Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Kerelaan Nabi Ibrahim alaihisalam yang ikhlas mengorbankan putranya Nabi Ismail karena menjalankan perintah Allah patut menjadi teladan umat Muslim.
Namun, ada sosok yang tidak boleh kita lupakan. Dia adalah Siti Hajar, perempuan yang ditinggal Nabi Ibrahim bersama putranya itu di gurun pasir Makkah. Dia ditinggal di padang tandus tanpa pohon, air, dan bahkan manusia lain. Tatkala dia mengetahui ia ditinggalkan atas perintah Allah SWT, dia pun meneguhkan hatinya dan tawakal pada Allah.
"Kalau begitu, Allah pasti akan mengurus kami. Berangkatlah! Semoga engkau dalam lindungan-Nya," ujar Siti Hajar kepada Nabi Ibrahim yang berpamitan untuk kembali ke Palestina.
Seiring waktu, ketika perbekalan mereka habis dan bayi Ismail menangis kehausan, Siti Hajar yang kalut berlari-lari antara Bukit Safa dan Marwah hingga tujuh kali. Upaya Siti Hajar itu didengar oleh Allah dengan memancarnya mata air zamzam di kaki nabi Ismail. Tindakan Siti Hajar itu pun diabadikan dalam ritual sa'i yang diwajibkan bagi jamaah haji.
Mata air itu pun mengundang kabilah yang melewati daerah tersebut untuk bermukim atas izin Siti Hajar. Mereka kemudian mendirikan permukiman dan berkembang hingga menjadi cikal-bakal Kota Makkah. Hal ini bermula dari ketawakalan Siti Hajar.
Islam merupakan agama yang memuliakan perempuan. Islam memberikan hak yang besar kepada perempuan. Sebelum Islam datang, kaum perempuan dianggap sebagai kehinaan bagi keluarga. Islam datang untuk mengembalikan harkat dan kehormatan perempuan.
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana." (At Taubah: 71)
Ulama perempuan dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir mengatakan jelas Alquran dan Sunnah menganggap wanita sebagai saudara bagi pria. Konsep ini meringkaskan dan menekankan betapa wanita dan pria sama-sama memiliki hak dan kewajiban.
Keduanya adalah makhluk Tuhan yang tujuan utamanya di atas bumi adalah melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk. Dengan demikian, keduanya akan sama-sama mendapatkan rahmat.
Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Siti Hajar. Mulai dari keikhlasannya, keyakinannya pada Allah, dan kesabarannya.
Sebagai seorang perempuan, kisah ini memberi inspirasi kepada saya. Siti Hajar adalah wanita yang tidak mudah menyerah. Pelajaran ini juga bisa kita terapkan dalam manajemen stres di saat pandemi.
Siti Hajar yang bolak-balik ke Bukit Safa dan Marwah, bisa kita asumsikan dengan usaha kita yang berusaha menghadapi situasi ketidakpastian. Ada yang kehilangan pekerjaan, terpapar Covid-19, bahkan ditinggalkan orang terkasih hingga rasanya masa depan menjadi suram. Apalagi sederet aturan pemerintah yang mau tidak mau membatasi mobilitas kita. Hal ini tentu saja berdampak pada kesehatan mental kita.
Rasa-rasanya 1,5 tahun pandemi sudah mengajarkan saya tidak berharap situasi akan kembali normal seperti sebelum Covid-19 melanda dunia. Namun, satu hal yang saya sadari adalah penting memahami bahwa kita tidak bisa mengendalikan kondisi di sekitar kita ini.
Kitalah yang bisa mengendalikan apa yang kita pikirkan dan rasakan. Seperti yang Siti Hajar lakukan dengan penuh keyakinan pada Tuhannya. Itulah juga yang sebaiknya kita tiru juga.
Bayangkan apa yang dirasakan Siti Hajar saat itu. Ia pasti kalut dan putus asa mencari air di perbukitan gersang seorang diri, hanya bersama bayi Ismail. Hanya kepada Allah dia memohon pertolongan dan Allah pun memberikan mukjizatnya. Jangan sampai kita kehilangan harapan bahwa di depan sana Allah pun akan memberi kita akhir yang indah seperti yang terjadi pada Siti Hajar.