Oleh : Bayu Hermawan, Jurnali Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah kembali mengumumkan memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai hari ini hingga 2 Agustus mendatang. Pengumuman yang dibacakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Ahad (25/7) sore kemarin, terasa bukan hal baru meski ada kelonggaran-kelonggaran dibanding saat PPKM masih darurat.
Apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi, sebenarnya sudah diketahui lama oleh publik. Kalau masih ingat, jelang masa akhir penerapan PPKM darurat, salah satu Menko sudah pernah keceplosan bahwa PPKM akan diperpanjang hingga akhir Agustus. Namun, entah apa yang terjadi, tiba-tiba, Menko lainnya membantah telah ada keputusan soal perpanjangan PPKM.
Kita tidak tahu mana informasi yang benar dan mana yang salah. Tetapi, pada tanggal 20 Juli, Pak Presiden muncul memberikan keterangan soal PPKM. Saat itu, Pak Presiden tidak menegaskan PPKM diperpanjang sampai 25 Juli. Beliau hanya memberikan bocoran jika setelah tanggal 26 Juli bakal ada pelonggaran jika kasus Covid menunjukan penurunan. Plus yang terbaru adalah PPKM tidak lagi darurat tetapi diganti menggunakan Level.
Ahad kemarin, Presiden kembali memberikan pernyataan soal PPKM yang diperpanjang (lagi) hingga tanggal 2 Agustus. Terasa bukan hal baru, karena pada intinya PPKM tetap akan terapkan hingga bulan Juli ini selesai. Yang baru adalah, Presiden memutuskan memberikan kelonggaran-kelonggaran, khususnya di bidang usaha dan perdagangan.
Lalu kenapa seolah pemerintah mencicil-cicil PPKM dan tidak berani tegas menyatakan masa berlakunya sampai sebulan penuh misalnya?. Terlepas dari apa yang terjadi di 'belakang layar', keputusan PPKM memang merupakan suatu keputusan yang tidak populis plus memberatkan dari sisi perekonomian, bukan cuma rakyat tapi juga negara. Tidak percaya? lihat saja bagaimana tanggapan masyarakat di media sosial kala pemerintah harus mengambil keputusan menerapkan PPKM. Mayoritas memberikan sentimen negatif. Masyarakat kecil dan menengah menjerit karena terbayang kehidupan yang akan semakin sulit. Kelas menengah ke atas pun ikut menjerit, entah karena bisnis mereka terancam atau dengan alasan solidaritas, saya tidak tahu.
Setiap kebijakan yang tidak populis pasti akan menimbulkan reaksi, baik yang spontan maupun by design alias ada yang 'memainkan'. Hal paling mudah dilihat adalah munculnya unjuk rasa menolak PPKM di sejumlah daerah. Saya kira wajar jika muncul aksi tersebut. Aksi ini muncul lantaran dampak ekonomi yang muncul di masyarakat yang terkesan diabaikan oleh pemerintah dalam mengambil kebijakan PPKM darurat. Seperti diketahui, selama PPKM darurat diberlakukan, masyarakat seolah tidak bisa bergerak untuk mencari nafkah. Sementara bantuan dari pemerintah, terasa lambat, dan jikapun turun besarannya terasa tidak cukup menolong rakyat.
Meski begitu, tetap saja ada aksi-aksi yang di design untuk memperburuk citra pemerintah, seperti seruan aksi Jokowi End Game yang muncul akhir pekan lalu.
Saya tidak bermaksud membela atau menentang kebijakan pemerintah. Harus diakui masih banyak kekurangan pemerintah, khususnya saat PPKM darurat. Kebijakan ini bukan cuma tidak populer, namun terkesan semerawut. Namun, rasanya tidak pas juga jika pandemi dijadikan alat untuk mendorong menurunkan Jokowi. Sebab, pandemi Covid bukan hanya dialami oleh Indonesia saja, negara-negara lain pun mengalami kesusahan gara-gara Covid. Dan, kalau pun Jokowi diturunkan, lalu siapa yang mau atau memberi jaminan Covid hilang dari Indonesia jika pemimpinnya diganti? yang ada, justru ada kemungkinan penanganan Covid malah semakin berantakan, dan akhirnya yang jadi korban tentu saja rakyat Indonesia.
Di saat pandemi Covid yang masih mengila, menurut saya, kini waktunya untuk lebih berpikir dan bersikap tidak hanya mengedepankan emosi saja. Mendukung atau tidak mendukung pemerintah merupakan hak politik seseorang. Namun, ada baiknya kini sama-sama mendukung upaya untuk melawan Covid. Sejagonya seseorang pemimpin, atau sekeren apapun kebijakan yang diambil, jika tidak mendapat dukungan dari masyarakat maka hal itu tidak ada artinya apa-apa. Jadi penanganan Covid juga bukan hanya tugas pemerintah namun juga masyarakat. Hal paling simple bisa dilakukan adalah apakah sudah benar-benar kita taat protokol kesehatan?
Memang pemerintah masih mengambil kebijakan penerapan PPKM. Namun, setidaknya sudah ada pelonggaran-pelonggaran seperti pasar yang sudah dibuka meski masih dibatasi waktu operasional dan kapasitasnya, usaha masyarakat kecil yang sudah kembali diperbolehkan, termasuk rumah makan yang sudah diizinkan untuk bisa makan di tempat. Bahkan di daerah yang menerapkan PPKM level 3, Mal sudah boleh beroperasi. Selain itu, pemerintah juga sudah berjanji untuk mempercepat bansos. Tinggal dari masyarakat apakah mau berupaya ikut melawan Covid, atau kebabalasan dalam pelonggaran ini?