REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mutia Fitra Pusvita, Mahasiswi Semester 7 Fakultas Ilmu Komunikasi, Unpas.
Pandemi Covid-19 telah meningkatkan kecemasan bagi banyak orang. Sebagian orang kecil bisa mengalami masalah mental yang berkepanjangan. Permasalaham kesehatan mental menjadi isu yang tidak terelakkan di tengah pandemi Covid-19. Permasalahan kesehatan mental seperti cemas, depresi dan trauma karena Covid-19 dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Kasus ini menandakan bahwa pandemi bisa memicu permasalahan kesehatan mental seseorang hingga ke tingkat yang sangat serius.
Devora Kestel, Direktur Departemen Kesehatan Mental mengatakan bahwa kesehatan mental akibat Covid-19 bahwa 80% persoalan Covid-19 adalah psikologis. Sisanya adalah kesehatan fisik. Kesehatan mental yang dialami masyarakat akibat pandemi Covid-19 berkenaan dengan tiga masalah psikologis.
Yaitu cemas, depresi dan trauma. Sebagian kecil orang mengalami cemas dan depresi akibat pandemi covid-19. Gejala cemas utama adalah merasa khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir berlebihan, mudah marah dan sulit rileks. Sementara gejala depresi utama adalah muncul gangguan tidur, kurang percaya diri, lelah, tidak bertenaga dan kehilangan minat.
Pada sebagian besar orang memiliki gejala stres pasca trauma karena mengalami atau menyasikan peristiwa tidak menyenangkan terkait covid-19. Gejala stres pasca trauma ( PTSD ). Ada tiga tingkatan dari yang berat hingga ringan. Gejala pasca trauma yang menonjol yaitu merasa berjarak dan terpisah dari orang lain serta merasa terus waspada, berhati hati, dan berjaga jaga.
Kesehatan mental akibat pandemi Covid-19 merupakan sumber stres baru bagi masyarakat dunia saat ini. Faktor utamanya adalah depresi, akibat jarak dan isolasi sosial. Ketakutan akan Covid-19 menciptan tekanan emosional yang serius. Rasa keterasingan akibat adanya perintah jaga jarak telah mengganggu kehidupan banyak orang dan mempengaruhi kesehatan mental mereka, seperti depresi dan bunuh diri.
Isolasi selama pandemi Covid-19 kemungkinan kontribusi terhadap bunuh diri. Contohnya, mahasiswa China yang kuliah di Saudi Arabia bunuh diri setelah isolasi di rumah sakit karena terinfeksi Covid-19. Kedua adalah resesi ekonomi akibat pandemi. Pandemi Covid-19 telah memicu krisis ekonomi yang kemungkinan akan meningkatkan resiko bunuh diri terkait dengan adanya pengangguran dan tekanan ekonomi. Perasaan ketidakpastian, putus asa, dan tidak berharga akan meningkatkan angka bunuh diri.
Contohnya, seperti Menteri keuangan Jerman yang bunuh diri pada akhir Maret 2020 karena putus asa dengan dampak ekonomi. Ketiga, stres dan trauma pada tenaga kesehatan. Penyedia layanan kesehatan berada pada resiko kesehatan mental yang tinggi akibat pandemi Covid-19. Sumber stres mencakup stres yang ekstrim, takut akan penyakit, perasaan tidak berdaya dan trauma karena menyaksikan pasien Covid-19 yang meninggal sendirian. Keempat, adanya stigma dan diskriminasi. Di Indonesia, stigma dan diskriminasi dialami secara nyata, terutama oleh tenaga kesehatan. Bentuk stigma yang dialami yaitu orang - orang menghindar dan menutup pintu saat melihat tenaga kesehatan, dilarangnya naik kendaraan umum, keluarga yang dikucilkan, dan adanya ancaman diceraikan oleh suami atau istrinya.
Permasalahan kesehatan mental, seperti cemas, depresi dan trauma akibat Covid-19 dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Terhadap permasalahan ini, pemerintah telah meluncurkan Layanan Sejiwa untuk membantu menangani ancaman psikologis masyarakat akibat pandemi Covid-19 dan berupaya mengembangkan Desa Siaga Covid-19. Dalam hal ini, DPR RI, khususnya Komisi IX, perlu mendukung upaya yang telah dilakukan Kementerian Kesehatan terkait pencegahan, penanganan, serta pelaksanaan tindak lanjut permasalahan kesehatan mental akibat pandemi Covid-19.