REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah anggota Komisi X DPR RI menyoroti soal survei lingkungan belajar. Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, menilai Kemendikbudristek perlu memperbaiki survei tersebut.
"Survei tersebut harus diperbaiki jika akan diteruskan. Sayang uang dikeluarkan banyak dalam masa pandemi untuk hal yang berpotensi masalah di kemudian hari," kata Ledia kepada Republika, Kamis (29/7).
Ia mencermati beberapa pertanyaan dalam survei tersebut dapat menyebabkan misleading dan tidak bisa menggambarkan kondisi lingkungan seutuhnya. Bahkan, cenderung mendikotomi preferensi guru/kepala sekolah.
"Pertanyaan mendasarnya apakah nanti isian survei akan dijadikan penilaian atau bahkan menghakimi seseorang radikal atau tidak? Terlalu dangkal menurut saya," ujarnya.
Politikus PKS itu menjelaskan, dalam mengukur lingkungan belajar secara komprehensif harus melihat beberapa hal seperti sarana fisik sekolah, rasio jumlah guru dengan siswa, jumlah guru mata pelajaran, guru bimbingan konseling, guru produktif (untuk SMK) dan lain-lain. Selain itu, perlu juga melihat status guru (PNS, Honorer, PPPK, pegawai yayasan) serta hal-hal lain yang menjadi standar.
"Jika dianggap hal tersebut bisa diperoleh dari data dapodik kenyataannya nggak sinkron," kata dia.
Selain itu, menurutnya, akses menuju sekolah juga termasuk dalam lingkungan belajar. Karena itu, ia mengatakan, ada sangat banyak variabel yang harus disurvei.
"Persepsi tidak bisa jadi patokan dalam mengambil keputusan. Jangan jadi pemecah belah persatuan bangsa gara-gara pertanyaan yang mendikotomi seperti itu. Padahal, Kemendikbudristek sendiri menginginkan siswa yang berkebhinekaan global meskipun masih jadi perdebatan," tuturnya.
Anggota Komisi X DPR Fraksi PAN, Zainuddin Maliki, mengatakan seharusnya survei lingkungan belajar didasarkan kepada kepentingan untuk memetakan latar belakang tempat berlangsungnya pendidikan. Survei lingkungan belajar juga seharusnya jauh dari kepentingan politik, sentimen mayoritas dan minoritas dari sisi suku, ras maupun agama.
Ia juga menilai survei lingkungan belajar tersebut bernada politis dan berpotensi membangkitkan sentimen mayoritas minoritas suku, ras dan agama lantaran diajukan sejumlah pernyataan tendensius. Sejumlah pertanyaan ia soroti antara lain 'Lebih baik kalau ketua OSIS berasal dari agama yang mayoritas di sekolah', 'Cara berpakaian sesuai aturan agama kelompok mayoritas seharusnya diwajibkan bagi warga sekolah', dan 'Orang dari kelompok mayoritas agama lebih berhak menjadi pemimpin politik seperti bupati/walikota, gubernur dan presiden'.
"Dari sejumlah pernyataan tersebut jelas sekali mengandaikan etnisitas dan agama mayoritas dinilai sebagai sumber masalah," ujar legislator asal Dapil Jatim X Gresik-Lamongan itu.
Zainuddin secara tegas meminta Menteri Dikbudristek Nadiem Makarim menarik kuesioner itu. Ia juga mengimbau agar survei tersebut diperbaiki.
"Arahkan kepada upaya menggali informasi mengenai kualitas proses pembelajaran dan iklim sekolah yang menunjang pembelajaran secara komperhensif, bukan hanya menggali input, proses dan output, tetapi juga konteks, outcome, benefit dan impact pembelajaran," kata mantan rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.
Sementara itu Anggota Komisi X DPR Fraksi PDIP, Andreas Hugo Pareira, menilai setiap asesmen mempunyai tujuan yang ingin dicapai melalui perolehan hasil jawaban dari peserta asesmen untuk kemudian diukur dan dinilai berdasarkan kriteria yang ditentukan. Ia menjelaskan asesmen Kompetensi Minimum yang berkaitan dengan literasi dan numerasi berbeda dengan asesmen survei karakter dan lingkungan belajar.
"Karena itu, perlu diketahui dulu pertanyaan yang disajikan itu untuk asesmen yang mana. Saya kira dalam hal ini kita pun perlu mengetahui lebih jelas dulu, pertanyaan yang diajukan tersebut untuk jenis asesmen yang mana," tuturnya.