REPUBLIKA.CO.ID, Empat tahun sudah Lina menyimpan dana di suatu perusahaan asuransi untuk pendidikan anaknya di masa depan. Jumlahnya bisa dibilang tidak sedikit, Rp 50 juta mengendap dan tidak ia ambil karena tujuan utamanya sebagai persiapan kuliah anaknya yang pertama.
Selain itu, perempuan berusia 35 tahun ini juga menabung setiap bulannya sebagai tambahan dana. Meski tidak ditargetkan besaran jumlahnya, Lina mengaku tetap memaksakan diri rutin menabung. "Bisa dibilang (dana) yang ditabung sisa kebutuhan setiap bulan," kata dia.
Berbincang dengan Republika.co.id via WhatApps, Rabu (28/7), Lina merawikan jika keputusannya menabung karena pendidikan di matanya sangat penting. Hal ini wajar, mengingat Lina berprofesi sebagai seorang guru.
Ia berkata, pendidikan itu sangat penting karena ia merasakan sendiri bagaimana "bangku sekolahan" bermanfaat bagi kehidupannya. Lina mengatakan meski orang tuanya tidak mengenyam pendidikan tinggi, tetapi mampu memfasilitasi anak-anaknya hingga lulus perguruan tinggi. "Pendidikan itu penting banget. Yang orang tua kasih ke saya bukan warisan yang banyak, tapi alhamdulillah pendidikan," kata Lina.
Menurut Lina, orang tua yang berhasil adalah yang paling tidak mengubah anaknya jauh lebih baik dari mereka. Berkaca dari sana, Lina memegang prinsip pendidikan adalah suatu hal yang penting bagi kehidupan. "Saya dan adik-adik merasakan manfaat dari pendidikan yang diwariskan kepada kami," kata Lina.
Pendidikan memang menjadi bekal yang sangat penting bagi masa depan anak. Untuk itu, mempersiapkan dana pendidikan selalu menjadi salah satu tugas penting yang harus dilakukan setiap orangtua, bahkan sejak anak-anaknya masih kecil. Ada beberapa pilihan bagi orang tua menyiapkan dana pendidikan, yakni menabung emas, reksadana, deposito, saham, atau asuransi pendidikan seperti yang dilakukan Lina.
Cara serupa juga dilakukan Wiwit Ariani (44 tahun). Ibu tiga anak ini harus putar otak untuk mempersiapkan dana pendidikan bagi putra-putrinya. Wiwit mengaku menyiapkan dana pendidikan putra-putrinya dengan menabung di asuransi pendidikan. Saban bulan ia menyiapkan dana setidaknya sekitar Rp 2 juta untuk membayar polis asuransi pendidikan bagi tiga anaknya, di tiga perusahaan asuransi yang berbeda.
Asuransi pendidikan untuk putri pertamanya yang kini duduk di bangku kelas 9 sekolah menengah pertama (SMP) itu sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Namun, karena perusahaan asuransi yang diikutinya gulung tikar, ia tetap mendapatkan dana pengganti setiap bulannya. "Sudah pernah dua kali diambil. Kini sisanya dicicil sama mereka," kata Wiwit ketika ditemui di rumahnya, Kamis (29/7).
Biaya pendidikan di Indonesia memang kian mahal. Dengan inflasi pendidikan bisa mencapai 10 sampai 15 persen per tahunnya, kenaikan biaya pendidikan umumnya terjadi untuk sekolah swasta dengan segmen menengah ke atas.
Dalam catatan Republika.co.id, setidaknya dalam 10 tahun ke depan, biaya sekolah anak dari TK sampai tingkat sarjana mencapai Rp 1,2 miliar. Biaya ini tentu akan lebih murah atau berbeda jika anak menimba ilmu di sekolah negeri. Catatan ini bisa dilihat dari tingkat inflasi di sektor pendidikan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 3,81 persen. Sementara khusus kenaikan rata-rata uang pangkal pendidikan di Indonesia mencapai 10-15 persen per tahunnya. Rata-rata kenaikan biaya pendidikan di Indonesia mencapai 20 persen setiap tahunnya. Sedangkan biaya pendidikan di perguruan tinggi swasta naik hingga 40 persen.
Saat ini biaya pendidikan di sekolah swasta segmen menengah ke atas bukan sekolah bertaraf internasional, mulai dari PAUD sampai kuliah saat ini mencapai Rp 187,5 juta. Rinciannya PAUD Rp 5 juta, TK Rp 10 juta, SD Rp 30 juta, SMP Rp 35 juta, SMA Rp 40 juta dan Kuliah Rp 50 juta. Ini belum termasuk biaya lain seperti SPP dan praktik sekolah.
Tengok biaya sekolah di DKI berdasarkan data BPS sebagai contoh. Jika dibandingkan dengan provinsi lain, biaya pendidikan di DKI lebih tinggi, bahkan bisa dibilang tertinggi dengan kisaran hampir dua kali lipat rata-rata biaya nasional.
Data PBS Juli 2019, DKI menempati peringkat pertama biaya sekolah tingkat SMA yang mencapai Rp 13,4 juta untuk tahun ajaran 2017/2018. Padahal rata-rata biaya nasional saat itu hanya Rp 6,5 juta.
Peringkat kedua ditempati Jawa Barat dengan biaya sekolah Rp 8,7 juta, disusul berturut-turut Banten (Rp 8,2 juta), Daerah Istimewa Yogyakarta (Rp 8 juta), Bali (Rp 7,8 juta, Kepulauan Riau (Rp 7,1 juta), dan Jawa Timur (Rp 6,9 juta). Sedangkan wilayah dengan biaya paling rendah ditempati Maluku (Rp 3,7 juta), Nusa Tenggara Timur (Rp 3,5 juta), dan Sulawesi Barat (Rp 3 juta).
Lina yang seorang guru mengakui jika biaya pendidikan memang setiap tahun mengalami kenaikan. Ia pun berpendapat mahalnya biaya pendidikan belum diimbangi dengan kualitas yang didapat para siswa. Biaya pendidikan di sekolah swasta dan negeri memiliki perbedaan yang cukup jomplang dengan sekolah negeri yang gratis. "Namun kualitas pendidikan bukan dilihat dari biaya, tapi dari fasilitas sekolah dan kualitas guru-gurunya," kata Lina.
Tidak bisa dipungkiri, masih ada guru-guru yang kurang respek terhadap posisinya sebagai tenaga pengajar. "Bukan meremehkan guru-guru yang lain, tetapi fakta di lapangan ada yang seperti itu."
Ketimpangan ekonomi juga yang membuat anak-anak putus sekolah cukup banyak. Pasi Sahlberg dałam pengantar buku Teach Like Finland (2017) karya Timothy D Walkerz memaparkan, mayoritas siswa Finlandia belajar dalam kelas yang secara sosial campur tanpa melihat status sosial ekonomi mereka. Menurut dia, dalam empat dekade terakhir, semangat inklusivitas ini membentuk pola pikir guru dan orang tua untuk percaya setiap orang dapat belajar apa pun yang diinginkan, selama ada dukungan layak dan cukup.
Dalam konteks Indonesia, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong mimpi anak Indonesia meraih pendidikan berkualitas. Dalam konsep Barat, dikenal meritokrasi yang menyuguhkan janji, siapa bekerja keras maka meraih kesuksesan di masa depan. Sayangnya, meritokrasi hanya menjadi sejenis mitos.
Sementara Gorski (2018) dalam bukunya, Reaching and Teaching Students in Poverty: Strategies for Erasing the Opportunity Gap mengutip beberapa studi yang menunjukkan kegagalan siswa miskin karena kebijakan pendidikan yang tak berpihak pada kelompok miskin. Anak-anak keluarga miskin tetap miskin karena kebijakan pendidikan yang bias kelompok elite. Pada poin ini, konteks reproduksi sosial melalui kapital orang tua dalam memberi sumber daya, pendapatan, keterampilan, dan jaringan kepada anak-anak sangat berpengaruh.
Menurut Gorski (2018), media sering terjebak dalam menceritakan kisah-kisah sukses anak-anak kelompok miskin di bidang akademik. Padahal, menurutnya, jika dibandingkan secara statistik, jumlah anak miskin yang sukses tidaklah banyak.
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Anggi Afriansyah, dalam catatannya mengatakan...