Selasa 03 Aug 2021 10:50 WIB

Seleksi Hakim Agung dan Anomali Yudisial?

Putusan terhadap Jaksa Pinangki dan vonis terhadap Joko Chandra bukan berita baru.

Hakim (Ilustrasi)
Foto: Rakhmawaty La'lang/Republika
Hakim (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ade Maman Suherman, Guru Besar FH Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Hari Keadilan Internasional (World Day for International Justice) yang diperingati tanggal 17 Juli, perlu dijadikan momentum kontemplasi dan evaluasi terhadap marwah keadilan (de geest van de gerechtigheid) di negeri ini. Ketika Ketua Komisi Yudisial menyoal dilema kekuasaan kehakiman (Kompas, 19 Juli 2021), boleh jadi merupakan ekspresi keberanian intelektual yang layak diapresiai karena kejujuran sekaligus kebuntuan, bahkan ketidakkuasaannya atas putusan hakim yang semakin membingungkan nurani keadilan kolektif. Sesungguhnya putusan terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari dan vonis terhadap Joko Chandra bukan berita baru (hot issue) jika membuka kembali data KPK tentang Pengurangan hukuman terhadap Koruptor.

Diskon Hukuman (Straf Vermindering)

Dunia peradilan juga mengenal legal discretion seperti halnya dalam bidang lain seperti legislative discretion, executive discretion. Pertanyaan mendasar tentunya mengapa terjadi pengurangan hukuman bagi para koruptor, mengapa putusan pengadilan pertama selalu terkoreksi dan tereduksi oleh putusan tingkat kasasi atau peninjauan kembali.

Benarkah ini sebagai dogma sakti atas independensi dan imparsialitas hakim dalam memutus suatu perkara. Data di KPK terkait dengan pengurangan hukuman bagi koruptor beberapa tahun terakhir sangat mudah dipahami dan dipersepsi oleh masyarakat awam sekalipun.

Persoalan substansial dan kritikal adalah pengurangan hukuman seringkali dilakukan oleh hakim banding dan tingkat Kasasi serta PK yang notabene sebagai center of excellence dan core of the core dari dunia pengadilan. Dengan menyandang atribut Yang Mulia, tetapi di sisi lain menunjukkan bobot kualitas putusannya berbanding terbalik dengan logika hukum dan rasa keadilan masyarakat serta teori hukum dan keadilan.   

Berdasarkan Pasal 14 Undang-undang nomor 18 tahun 2011 dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pasal 13 huruf a. Komisi Yudisial mempunyai tugas: melakukan pendaftaran calon hakim agung, melakukan seleksi terhadap calon hakim agung, menetapkan dan mengajukan calon hakim agung kepada DPR. Terkait dengan putusan hakim, Komisi Yudisial sama sekali tidak (not at all) mempunyai kewenangan untuk melakukan penilaian apalagi melakukan koreksi putusan hakim atas suatu perkara.

Pertimbangan hukum dan amar putusan merupakan kewenangan mutlak dan independensi hakim. Sehingga hanya hakim itu sendiri yang dapat melakukan koreksi terhadap putusan dengan melalui jenjang upaya hukum yang ada yang dimiliki oleh penuntut umum.

Komisi Yudisial, sebagai penjaga marwah, martabat dan kehormatan hakim sebaiknya mengoptimalkan perannya dalam melakukan seleksi calon Hakim Agung yang saat ini tengah berjalan. Sebagai penjaga marwah atas martabat hakim, perlu ada blue print yang visioner dan realistis untuk melakukan investasi moral/akhlakul karimah melalui seleksi para calon hakim agung yang kompeten, profesional, berintegritas dan bermoral yang bertanggung jawab kepada dirinya, agamanya, bangsanya, serta Tuhannya yang akan mengadili di Hari Pengadilan yang hakiki. Independensi tanpa tanggung jawab adalah adalah tirani dan kedzaliman yang nyata.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement