REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR, Netty Prasetiyani, menilai, perpanjangan PPKM Level 4 merupakan langkah yang harus diambil pemerintah. Tapi di sisi lain, ia mendesak pemerintah untuk mengevaluasi pelaksanaan PPKM dengan memeriksa indikator laju penularan dan kapasitas responsnya secara jujur dan terbuka.
"Seberapa besar penurunan kasus aktif, BOR, kasus terkonfirmasi positif, dan angka kematian harian. Per Sabtu (31 Juli) kemarin, 545.447 kasus aktif, 37.284 kasus baru, dan ada 1.808 kematian baru akibat Covid-19. Positivity rate kita masih 26 persen jauh di atas standar WHO 5 persen. Belum lagi soal testing kita yang masih rendah, dengan jumlah spesimen yang diperiksa masih 252.184," kata Netty kepada Republika.co.id, Selasa (3/8).
Netty juga meminta pemerintah melakukan evaluasi dan kajian terkait pelaksanaan PPKM yang berakhir 2 Agustus 2021 lalu. Evaluasi tersebut diharapkan menjadi dasar pertimbangan pemerintah untuk melakukan perpanjangan PPKM Level 4.
"Sampaikan secara jujur dan terbuka evaluasi tersebut. PPKM Level 4 pada daerah-daerah yang positivity rate-nya tinggi, jauh di atas standar WHO harus dilakukan karena lonjakan kasus sekarang bukan hanya terjadi di pulau Jawa, tapi sudah terjadi di luar pulau Jawa-Bali," ujarnya.
Politikus PKS itu juga mengingatkan pemerintah untuk meningkatkan lagi testing sebagaimana yang ditargetkan Kemenkes yaitu 400 ribu sampel per hari. Menurutnya, upaya tracing atau pelacakan harus juga diimbangi dengan ketersediaan layanan testing yang mudah diakses masyarakat.
"Testing ini seharusnya 90 persen diperoleh dari hasil tracing terhadap kontak erat kasus positif dan hanya 10 persen yang dilakukan oleh warga secara mandiri. Testing ini harus mudah diakses, murah, bahkan gratis dan disertai dengan peningkatan kapasitas analisis spesimen di laboratorium," ungkapnya.
Terakhir dirinya meminta pemerintah berhenti membuat narasi bahwa seolah-seolah kalau perpanjangan PPKM dilakukan yang menjerit adalah rakyat. Menurutnya, penolakan rakyat terhadap PPKM sebetulnya karena pemerintah selama ini tidak mau menanggung kebutuhan rakyat sebagaimana lazimnya dalam masa karantina di setiap negara.
"Di luar negeri seperti Sydney, saat lockdown warganya diberi 8 juta per pekan. Sementara yang dikeluhkan warga masyarakat kita selain nilai bansosnya kecil, pencairannya juga sering telat," tuturnya.