Oleh : Endro Yuwanto/Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah baru, rekor baru, dan harapan baru, seketika mencuat kala pebulu tangkis ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu meraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020, Senin, 2 Agustus 2021. Greysia/Apriyani seolah menjadi oase yang menyelamatkan Indonesia dari paceklik emas di Tokyo.
Bagaimana tidak, sebelumnya harapan medali emas ada pada sektor ganda putra dengan hadirnya Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon dan Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan. Bahkan banyak kalangan sempat memprediksi All-Indonesian Final bakal terjadi di nomor ganda putra, setelah kedua pasangan nomor satu dan dua dunia tersebut ditempatkan di bagan yang jalurnya berbeda dalam fase gugur Olimpiade Tokyo 2020.
Sayangnya, hasilnya jauh dari harapan. Kevin/Marcus tersingkir di perempat final seusai dikalahkan pasangan Malaysia Aaron Chia/Soh Wooi Yok dua gim langsung 14-21, 17-21. Sementara, Hendra/Ahsan takluk di semifinal di tangan wakil Taiwan Lee Yang/Wang Chi Lin, juga dua gim langsung 11-21, 10-21.
Harapan pelipur lara raihan medali perunggu ganda putra juga harus runtuh ketika pasangan Chia/Soh sekali lagi jadi batu kerikil bagi wakil Indonesia. Hendra/Ahsan kalah 21-17, 17-21, dan 14-21 dalam perebutan medali perunggu.
Sejak saat itu, Greysia/Apriyani berganti peran mengusung asa seluruh penjuru negeri untuk menciptakan kejutan di nomor ganda putri dan membawa pulang emas dari Tokyo. Sesuatu yang belakangan mampu dibayar lunas Greysia/Apriyani setelah menundukkan pasangan Cina Chen Qingchen/Jia Yifan dua gim langsung 21-19, 21-15 dalam perebutan medali emas.
Sanjungan pun tak ayal bertubi-tubi dialamatkan pada Greysia/Apriyani. Sejumlah selebritas, tokoh nasional, termasuk politisi berlomba-lomba memanfaatkan panggung yang telah disediakan Greysia/Apriyani. Tapi bukan itu arah dari tulisan ini. Bukan pula soal gelontoran bonus yang akan diterima dua srikandi tanah air itu.
Termasuk tangan dingin pelatih ganda putri Eng Hian yang sukses menyatukan kedua pemain tersebut. Bahkan jauh sebelum Olimpiade Tokyo, Greysia sebenarnya sempat ingin memutuskan gantung raket usai gagal membawa pulang medali dari Olimpiade Rio de Janeiro, Brasil, 2016. Kala itu, Nitya Krishinda Maheswari yang menjadi partner Greysia mengalami cedera bahu serius sampai harus menjalani operasi.
Hal tersebut membuat Greysia sempat berpikir untuk mengakhiri karier. Namun Eng Hian melarangnya dan meyakinkan Greysia untuk mendapatkan pasangan baru yang tepat. Sampai akhirnya pada 2017, Eng Hian pun memilih Apriyani Rahayu sebagai pasangan Greysia. Tapi sekali lagi, tulisan ini tak hendak menyajikan kembali sepak terjang Greysia/Apriyani sejak awal kariernya.
Sudah banyak media yang menuliskan bagaimana sepak terjang Greysia/Apriyani dengan etos kerja kerasnya sejak belia. Bagaimana keduanya menerapkan nilai-nilai sportivitas, integritas, dan ketekunan seorang atlet.
Yang menjadi sorotan tulisan ini justru adalah bagaimana nasib ganda putri andalan Indonesia itu setelah meraih medali emas Olimpiade. Greysia adalah pebulu tangkis yang saat ini berusia 33 tahun. Sementara, Apriyani lebih junior dan masih berusia 23 tahun.
Tentu, dari sini sudah bisa ditebak, Greysia sebenarnya sudah melewati masa emas sebagai seorang pebulu tangkis. Jelas 33 tahun bukanlah usia muda untuk seorang atlet. Sebagian besar pebulu tangkis angkatan Greysia pun sudah lebih dulu gantung raket.
Greysia pun sudah menikah dan konon ia juga ingin segera memiliki momongan. Pencapaian luar biasa di Olimpiade Tokyo 2020 sebenarnya bisa menjadi waktu yang tepat bagi Greysia untuk pensiun. Saat berada di puncak, dengan medali emas Olimpiade nama Greysia pasti akan tetap dikenang keharumannya.
Namun, permasalahannya jarak kualitas Greysia/Apriyani dengan ganda-ganda pelapisnya masih cukup jauh. Pelapis terdekat ganda putri peringkat enam dunia itu hanyalah Della Destiara Haris/Rizki Amelia Pradipta yang menduduki posisi 20 dunia. Della/Rizki pun sudah tak lagi muda karena hampir berusia 30 tahun.
Harus diingat pula, meski sudah mendapatkan medali emas ganda putri di Olimpiade, sudah hampir 20 tahunan, ganda putri Indonesia sebenarnya belum terlalu mumpuni dibanding sektor ganda putra. Lihat saja, sejak Olimpiade mempertandingkan bulu tangkis pada 1992 silam, tak ada satu pun ganda putri Indonesia yang mampu melaju hingga babak semifinal. Baru Greysia/Apriyani yang sanggup melakukannya bahkan kemudian menjadi juara.
Mungkin langkah yang sementara bisa diambil agar ganda putri Indonesia tetap disegani dunia adalah menahan agar Greysia tak memutuskan pensiun dalam satu atau dua tahun ke depan. Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) sebaiknya lekas mencarikan partner yang tepat lebih dulu untuk Apriyani, sebelum Greysia nantinya benar-benar memutuskan gantung raket. Partner yang tepat dan berkualitas untuk Apriyani sangat diperlukan, jika Greysia nantinya memutuskan pensiun.
Tangan dingin Eng Hian tentu bisa digunakan untuk menemukan partner yang tepat untuk Apriyani. Keberimbangan senior dan junior dalam satu partnership perlu untuk diteruskan agar regenerasi tetap terjaga. Seperti Greysia dan Apriyani yang selisih 10 tahun. Atau seperti Marcus Fernaldi Gideon yang pada awal kariernya berpasangan dengan legenda ganda putra, Markis Kido. Setelah Kido merasa cukup dalam kariernya, Marcus pun kian matang.
Pola seperti ini sepertinya bisa terus diterapkan di Indonesia agar emas-emas lain, terutama di sektor ganda putri tetap terjaga. Semoga.