REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Ahmad Bahtiar
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Banyaknya pintu masuk ke Indonesia menyebabkan masyarakat rentan terhadap penyakit dari luar. Ditambah sikap masyarakat Indonesia sendiri, menyebabkan wabah penyakit berulang kali dan berakibat pada penderitaan bahkan kematian. Kejadian itu menjadi inspirasi pengarang sastra sehingga lahirlah cerita berlatar wabah.
Beragam wabah seperti kolera, cacar, rabies, penyakit panas-dingin, dan keracunan tempe bongkrek yang dalam cerita-cerita itu ditulis pengarang dengan perspektifnya. Sebagai bagian dari masyarakat, pengarang melihat dan menghayati peristiwa itu kemudian mengolahnya menjadi cerita yang menarik. Karena itu, selain menghibur karya sastra dianggap dapat memberikan informasi tentang berbagai peristiwa di masyarakat.
Karya yang menggambarkan wabah tidak hanya muncul pada masa Balai Pustaka atau setelahnya tetapi jauh sebelumnya yaitu masa sastra Melayu Pasar atau Rendah. Saat itu terdapat “Tjerita Nyai Paina” karya H. Kommer. Cerita ini terbit pada 1900, kemudian diterbitkan lagi dalam Tempo Doeloe, Antologi Sastra Pra-Indonesia (2003) dengan tujuh cerita lainnya dengan editor Pramoedya Ananta Toer. Selain H. Kommer, terdapat pengarang lain yaitu F. Wiggers, Tio le Soei, F.D.J. Pangemanan, dan G. Prancis.
“Tjerita Nyai Paina” berkisah penyakit cacar di Desa Poerwo, Jawa Timur yang terdapat pabrik gula yang besar. Penyakit itu membuat wajah rusak dan menyebabkan kematian setiap hari, anak-anak dan kuli pabrik termasuk orang kaya sekalipun seperti suami Nyai Paina.
Penderitaan Nyai Paina bertambah saat Niti Atmojo, ayahnya meminta menjadi nyai Tuan Briot, kepala pabrik yang sewenang-wenang. Ia menginginkan Nyai Paina sehingga berbagai cara digunakan termasuk menuduh ayahnya berkorupsi. Sebagai terpelajar, Nyai Paina melawan kesewenangan Tuan Briot. Ia sengaja tertular penyakit itu dan mendatangi majikan ayahnya sehingga dapat menularkan kepadanya. Akibatnya, Tuan Briot meninggal sedangkan Nyai Paina sembuh meski mukanya bopeng. Ia menikah lagi dengan seorang hartawan dan hidup rukun sampai tua.
Karya ini, menurut Pramoedya mengecam kaum gula yang merupakan tulang punggung Hindia Belanda mendapatkan devisa. Industri tersebut memberikan keuntungan besar pada pemiliknya dan memberi pajak untuk pemerintah kolonial. Berkat itu, beberapa kota di Pulau Jawa seperti Semarang, Surabaya, dan kota-kota lain berkembang pesat. Hasil itu disebabkan adanya sistem tanam paksa (culturestelsel) sehingga sebagian penduduk bekerja di kebun dan pabrik gula. Selain itu, kontur tanah di Pulau Jawa cocok dengan tanaman gula.