Oleh : Elba Damhuri, Kepala Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID,
Ribut-ribut Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II 2021
Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2021 menimbulkan pro kontra panjang. Satu pihak merasa angka 7,07 persen yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) terlalu tinggi, sementara pihak lain menegaskan ini angka wajar.
Coba kita lihat pertumbuhan ekonomi beberapa negara tetangga yang juga mengalami dampak sangat dalam akibat pandemi virus corona ini. Pada kuartal II 2020, Singapura mencatat pertumbuhan ekonomi minus 13,3 persen. Ekonomi Singapura positif pada kuartal I 20201 dengan 1,3 persen dan melesat naik menjadi 14,3 persen pada kuartal II 2021.
China juga mencatat pertumbuhan ekonomi meroket pada kuartal I 2021 sebesar 18,3 persen. Angka ini turun pada kuartal II 2021 menjadi 7,9 persen, yang artinya masih menunjukkan bergeraknya mesin ekonomi negeri Tirai Bambu itu.
Catatan serupa terjadi pada Hong Kong, Vietnam, hingga Uni Eropa. Ekonomi Hong Kong mengalami kontraksi pada kuartal II 2020 sebesar minus 9,0 persen. Pada kuartal I 2021, pertumbuhan ekonomi Hong Kong melesat menjadi 8,0 persen dan terjaga di 7,5 persen pada kuartal II 2021.
Sementara Vietnam mengalami pertumbuhan 6,6 persen pada kuartal II 2021 dan Uni Eropa melesat menyentuh dua digit, 13,2 persen dari sebelumnya pada kuartal II 2021 minus 13,6 persen.
Jadi memang tren kenaikan ekonomi Indonesia dan negara-negara lain pada kuartal II 2021 --ada yang memulainya pada kuartal I 2021-- merupakan fenomena wajar dalam perhitungan ekonomi. Pasalnya, faktor penghitung pembanding pertumbuhan ekonomi ini memang angka-angka yang anjlok atau pertumbuhan yang mengalami kontraksi dalam.
Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyebut ini sebagai low base effect yang biasa terjadi setelah ekonomi mengalami kontraksi. Dalam beberapa kasus, semakin tinggi angka kontraksi ekonomi suatu negara semakin tinggi pula kenaikan pertumbuhan ekonominya pada periode tahun berikutnya.
Mengapa ada negara yang alami kontraksi cukup dalam dan ada negara yang kontraksinya tidak terlalu dalam? Struktur ekonomi penopang pertumbuhan ekonomi yang berbeda dari masing-masing negara menjadi sebab utama mengapa, misalnya, Singapura lebih dalam kontraksinya dibandingkan Indonesia.
Singapura termasuk negara pengekspor cukup besar dengan struktur ekonomi sekunder (manufaktur, konstruksi, utilitas, dan lainnya) sebesar 25,8 persen dan sektor tersier (transportasi, pergudangan, perdagangan, keuangan, informatika, akomodasi dan makanan minuman, perumahan, jasa Pendidikan, kesehatan, jasa bisnis, layanan publik) sebesar 74,2 persen.
Dengan penduduk yang sedikit, fokus Singapura adalah jualan ke luar negeri. Bahkan, Singapura tidak memiliki basis ekonomi primer yang mencakup pertanian, perkebunan, dan pertambangan/migas.
Berbeda dengan Indonesia dengan catatan penduduk yang banyak berorientasi pada pemenuhan konsumsi dalam negeri terlebih dahulu. Dalam beberapa kebutuhan pun Indonesia terpaksa impor karena industri dalam negeri tidak sanggup memenuhi kebutuhan itu.
Malaysia dan Thailand memiliki karakter ekonomi yang mirip dengan Singapura, yakni ekonomi berorientasi ekspor. Malaysia menguasai sektor sekunder di ASEAN dengan persentasi 51 persen sementara Thailand 33,8 persen, di atas Indonesia sedikit (33,7 persen).
Tak heran ketika dampak ekonomi pandemi begitu kuat, pertumbuhan ekonomi Malaysia, Thailand, dan Singapura mencatat kontraksi paling tinggi di ASEAN, yakni rata-rata di bawah minus 10 persen. Indonesia relatif mencatat kontraksi ekonomi yang relatif menengah, minus 5,32 persen.
Namun ketika ekonomi mulai naik, pertumbuhan ekonomi negara ini mencatat kenaikan tinggi. Sebaliknya, bagi Indonesia yang memiliki struktur ekonomi berbeda, kenaikannya tidak setinggi Singapura.
Ini bukan berarti negara yang basis ekonominya adalah pemenuhan konsumsi dalam negeri bisa dikatakan tidak bagus. Ada plus minusnya terutama ketika siklus krisis datang secara periodik.
Tantangan Ekonomi Indonesia Kuartal III 2021
Yang menjadi tantangan serius saat ini adalah bagaimana ekonomi Indonesia pada kuartal III 2021. Kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat sejak Juli hingga pertengahan Agustus ini berdampak pada berkurangnya tingkat konsumsi publik.
Kegiatan bisnis ikut terganggu dengan pembatasan ini. Pemerintah menerapkan pembatasan mobilitas dengan tujuan untuk meredam penyebaran kasus virus corona varian delta yang sangat tinggi sejak Juli.
Perusahaan-perusahaan besar memilih tidak melakukan .....