Kamis 12 Aug 2021 05:50 WIB

Berburu Pengemplang Bansos

Masyarakat harus berani lapor jika ada pungutan bansos.

Tersangka Andri Wibawa berjalan memasuki ruangan untuk menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/8/2021). KPK memeriksa Andri Wibawa, anak Bupati Bandung Barat nonaktif Aa Umbara Sutisna, terkait kasus dugaan korupsi pengadaan barang tanggap darurat bencana atau bansos pandemi COVID-19 pada Dinas Sosial Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2020.
Foto: ANTARA/M RISYAL HIDAYAT
Tersangka Andri Wibawa berjalan memasuki ruangan untuk menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/8/2021). KPK memeriksa Andri Wibawa, anak Bupati Bandung Barat nonaktif Aa Umbara Sutisna, terkait kasus dugaan korupsi pengadaan barang tanggap darurat bencana atau bansos pandemi COVID-19 pada Dinas Sosial Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2020.

Oleh : Agus Yulianto, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meluncurkan bantuan tunai tahun 2021 di Istana Negara, pada Senin (4/1). Nilai bantuan sosial (bansos) 2021 itu mencapai Rp 50,7 triliun. Bukan jumlah yang sedikit tentunya.

Rinciannya sebesar Rp 28,71 triliun untuk 10 juta keluarga Program Keluarga Harapan (PKH), Rp 12 triliun buat 18,8 juta keluarga penerima Program Sembako, dan Rp 12 triliun buat 10 juta keluarga penerima Bansos Tunai (BST).

Pemberian bansos kepada masyarakat merupakan salah bentuk perhatian dan komitmen pemerintah membantu masyarakat terdampak pandemi Covid-19. Program bansos tersebut mencakup 34 provinsi.

Melihat jumlah anggaran bansos yang besar itu, jelas membuat Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mewanti-wanti staf kemensos di pusat dan daerah serta pihak terkait dalam pendisitribusian bansos itu, untuk tidak 'bermain mata'. Risma pun secara rutin menyampaikan informasi dan arahan agar bantuan digunakan tepat guna sesuai peruntukannya.

Dia tak ingin kasus yang menjerat mantan Menteri Sosial sebelumnya Juliari P Batubara, terulang lagi di masanya. Untuk itu, Risma me-warning siapa pun pihak yang melakukan pungutan liar terhadap bansos, akan terus dikejar.

Untuk mendukung itu, Risma telah menjalin kerja sama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan. Dia ingin memastikan, dengan penindakan korupsi bansos, oknum yang 'memungut' jatah bansos itu akan dimasukan ke balik jeruji besi.

Baca juga : Jakarta Herd Immunity, Epidemiologi: Wah Masih Jauh Sekali

Seperti yang terjadi pada Juliari P Batubara yang dituntut 11 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Juliari dinilai terbukti menerima suap Rp 32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako Covid-19 di wilayah Jabodetabek. Juliari sendiri masih menjalani persidangan hingga menunggu putusan majelis hakim.

"Jangan main-main dengan tugas dan amanat yang sudah diberikan," kata Risma dalam satu kesempatan.

Ironisnya, kasus pengemplangan bansos ini masih saja terjadi. Meski kadarnya tidak sehebat Juliari P Batubara. Itu misalnya, saat Risma melakukan pemantauan bansos di Tangerang beberapa waktu lalu. Dia mendapati adanya warga yang mengeluhkan soal pungutan bansos.

Pengungkapan kasus tersebut akhirnya dilakukan Kejaksaan Negeri Tangerang (Kejari) terhadap pendamping Program Keluarga Harapan (PKH). Kejari Tangerang telah menetapkan 2 orang pendamping PKH menjadi tersangka.

Belakangan kasus serupa terjadi di Malang, Jawa Timur. Pelakunya seorang perempuan pendamping PKH bernisial PT (28 tahun). Modusnya, yang bersangkutan tidak memberikan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) pada sekitar 37 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH di Kabupaten Malang.

Akibatnya, seluruh dana bansos dikuasai tersangka. Dengan enaknya, pelaku menggunakan sebagaian besar dana bansos hasil 'ngemplangnya' itu dibelanjakan untuk kepentingan sendiri. Dana bansos untuk membeli laptop, televisi, mesin printer, lemari es, kompor dan dispenser. Total kerugian negara ditaksir mencapai Rp 450 juta.

Dari dua kasus itu saja, Mensos menjadi berang. Dia berulangkali menegaskan pada semua pihak untuk tidak main-main dengan bansos. "Bantuan itu diberikan untuk masyarakat miskin yang beban hidupnya berat, apalagi di masa pandemi. Jangan lagi dikurangi dengan cara melanggar hukum," ucapnya.

Ya, memang tidak ada alasan bagi pendamping mengurangi hak penerima bantuan. Apalagi, pendamping sudah mendapatkan honor. Sehingga, tidak ada alasan apapun memotong bantuan untuk orang tidak mampu.

Wajar bila kemudian Mensos terus mendorong aparat penegak hukum lainnya untuk tidak ragu bertindak.  Kalau memang ada bukti yang kuat, maka jangan segan untuk bertindak supaya ada efek jera.

Efek jera memang harus dibuat. Ini agar bibit-bibit korupsi sekecil apapun, tidak bermunculan ke permukaan yang pada gilirannya sangat merugikan masyarakat miskin.

Adalah tugas aparat penegak hukum untuk melakukan perburuan para pengemplang dana bansos tersebut. Di sisi lain, masyarakat pun harus berani untuk berkata jujur bila mendapati kasus-kasus pungutan yang dilakukan oleh oknum-oknum pendamping.

Baca juga : Ini Sanksi Jika Mal Langgar Protokol Kesehatan Selama PPKM

Dan itu juga yang kini dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tengah mengembangkan dugaan perkara rasuah bantuan sosial kementerian sosial (bansos kemensos). Lembaga antirasuah itu tengah melakukan penyidikian terbuka terkait perkara yang menjerat mantan menteri sosial (mensos) Juliari Peter Batubara. KPK mengatakan, sidang tersebut mengungkap sejumlah fakta terkait korupsi bansos Covid-19.

Ya, mudah-mudahan perkara pungli bansos ini menjadi pelajaran bagi semua pihak, agar sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan tindak pidana yang merugikan hak orang lain.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement