REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof OK Saidin, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (2020-2023)
Beberapa hari lagi Indonesia akan merayakan hari kemerdekaannya yang ke-76. Tua sudah usia republik ini. Banyak juga yang sudah berubah dibandingkan dengan 76 tahun yang lalu. Akan tetapi ada yang tak pernah berubah, yakni; tujuan negara dan lagu Indonesia Raya yang terus dikumandangkan dalam setiap kali merayakan hari kemerdekaan.
Tujuan negara dirumuskan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), lagu Indonesia Raya yang dikarang oleh Wage Rudolf Supratman. Keduanya wajib dikumandangkan pada tiap-tiap peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Penjajahan di atas dunia -muka bumi- harus dihapuskan, karena tak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, demikian cuplikan alinea pertama Pembukaan UUD 1945.
Selanjutnya disusunlah Pemerintah Negara Indonesia dengan tujuan; Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Bentuk negara pun dipilih dalam bentuk republik dengan menekankan bahwa rakyatlah yang harus berdaulat. Semua itu dilaksanakan dengan meletakkan dasar ideologi-nya yakni Pancasila.
Wage Rudolf Supratman juga menekankan dalam syairnya; Indonesia Raya, Merdeka-merdeka, Bangsaku Rakyatku semuanya, Indonesia Raya Merdeka merdeka, Hiduplah Indonesia Raya. Begitulah jika ditelisik lebih lanjut, frasa "merdeka" itu menjadi frasa yang sangat penting. Tanpa kemerdekaan, seseorang tak boleh dimintakan pertanggung jawabannya. Tanpa kemerdekaan tak ada kewajiban yang bisa dibebankan kepada subjek hukum. Itulah sebabnya perbudakan dicelah oleh semua kitab suci.
Dalam faham demokrasi, pembebasan manusia dari semua ikatan yang membelenggu dirinya dimaknai sebagai kemerdekaan yang dalam spektrum yang lebih luas disebut sebagai kemerdekaan bangsa. Rumusan delapan abad yang lalu tentang pentingnya arti kemerdekaan dirumuskan dalam Magna Carta, sebuah Piagam yang dikeluarkan di Inggris tanggal 15 Juni 2015 yang berisikan antara lain membatasi kekuasaan absolut Raja, yang kemudian menjadi tonggak perjuangan lahirnya pengakuan atas Hak Asasi Manusia yang kelak dituangkan dalam dokumen Universal Declaration of Human Rights yang disahkan oleh Majelis Umum PBB di Paris, Prancis tahun 1948.
Jauh sebelum itu (622 Masehi) pelindungan Hak Asasi Manusia telah dirumuskan dalam Konsitusi Madinah. Konstitusi yang berisikan 47 Pasal itu, 28 Pasal di antaranya secara eksplisit bersisikan nilai-nilai dan norma pelindungan hak asasi manusia (Muhammad Husain Haekal; 1989).
Dokumen-dokumen itu lahir karena adanya penjajahan manusia atas manusia. Karena manusia menjadi serigala -homo homini lupus- di antara sesamanya, kata Thomas Hobes. Penjajahan fisik, penjajahan mental, penjajahan atas wilayah untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam.
Penjajahan itulah yang mewarnai dunia hingga sejarah umat manusia dipenuhi dengan cerita peperangan. Perang Dunia I, Perang Dunia II dan Perang yang tak kunjung berakhir di Timur Tengah, wilayah Gaza, Afganisthan, Gerakan sparatis di berbagai belahan dunia, adalah karena terdapat "perilaku" penjajahan dalam pola-pola kepemimpin dunia yang berisikan ketidak adilan (ekonomi, hukum dan politik), penjarahan, pembantaian manusia atas manusia dan berbagai hal lainnya yang menyebabkan manusia tidak lagi diposisikan sebagai mahluk yang merdeka.
Kini, benarkah dunia telah bebas dari penjajahan? Benarkah kita sedang hidup di bumi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemerdekaan?
Tulisan ini ingin menyoroti sebuah penjajahan baru di muka bumi yakni penjajahan teknologi, yang berujung pada penjajahan peradaban di balik instrumen perlindungan paten.