Oleh : Abdul Rachman Thaha, Anggota DPD RI, Ketua Persaudaraan Muslimin Indonesia (PARMUSI) Sulawesi Tengah
REPUBLIKA.CO.ID, Andaikan memang benar sebagaimana dikatakan pengacara dokter Richard Lee bahwa ada atensi Kapolri sehingga kliennya tidak ditahan, maka ini mengingatkan publik pada komitmen Kapolri yang dipresentasikan saat fit and proper test di DPR beberapa waktu lalu. Saat itu Kapolri mengatakan akan mengedepankan problem solving dan restorative justice dalam penanganan kasus.
Namun ketika atensi Kapolri itu justru disampaikan oleh pengacara tersangka kepada media, muncul persoalan baru. Atensi itu terkesan seolah-olah ada privilese yang telah diberikan kepada pihak di luar institusi Polri untuk menyampaikan kepada masyarakat hal terkait sikap resmi Kapolri dalam penanganan suatu kasus.
Penyampaian oleh tersangka itu seakan menunjukkan adanya perlakuan yang berbeda yang dikenakan kepada tersangka maupun pengacara tertentu, yang tidak diberikan kepada tersangka maupun pengacara pada kasus-kasus lainnya. Atas dasar itu perlu dilakukan pelurusan benarkah bahwa Kapolri telah menyampaikan atensi sebagaimana yang diutarakan pengacara tersangka tersebut.
Hal ini juga perlu menjadi perhatian Polri untuk memastikan komunikasi antara lembaga Polri di masa depan. Lebih-lebih antara Kapolri dengan masyarakat, bisa disampaikan dengan menggunakan jalur formal yang ada di dalam institusi Polri sendiri, yaitu humas.
Pernyataan pengacara tersangka tentang atensi Kapolri juga bisa disalahtafsirkan oleh masyarakat luas sebagai bentuk campur tangan terhadap kerja tim penyidik. Padahal, sesuai ketentuan, kerja penyidikan adalah kerja yang independen.
Penyidik tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun, termasuk dalam penentuan apakah tersangka akan ditahan atau tidak ditahan. Atas dasar itu, menjadi kebutuhan bagi Polri untuk terus menerus meneguhkan komitmennya bahwa siapa pun pada lapis struktural manapun, benar-benar tidak melakukan campur tangan terhadap kerja tim penyidik dalam penanganan kasus.
Masalah independensi penyidikan juga perlu terus ditekankan secara internal. Tujuannya untuk memastikan para pimpinan Polri di wilayah tidak dengan mudahnya menyalahgunakan jabatan yang mereka punya untuk melakukan intervensi terhadap kerja tim pendidikan pada kasus apa pun.
Kembali pada komitmen Kapolri yang akan mengedepankan problem solving dan restorative justice. Saya sependapat bahwa kealpaan-kealpaan dalam berperilaku etis, apalagi ketika dilakukan oleh masyarakat jelata sehingga berdampak pada terjadinya indikasi pelanggaran Undang-Undang ITE, memang sedapat mungkin diselesaikan dengan cara yang sesuai dengan komitmen Kapolri tersebut. Ini diperlukan untuk mengurangi case load yang harus ditindaklanjuti oleh Polri, sekaligus memberikan kesempatan kepada masyarakat sendiri untuk memanfaatkan dialog dan kompromi dalam rangka menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Jika komitmen Kapolri itu belum sungguh-sungguh diterapkan secara luas oleh jajaran di lapangan, saya khawatir khalayak luas tidak akan pernah benar-benar merasakan adanya perubahan pendekatan kerja Polri. Dari yang awalnya sangat berorientasi pada pidana menjadi pendekatan yang lebih berbasis pada keadilan restoratif. Untuk itu, secara konkrit patut kiranya Kapolri mengeluarkan semacam surat yang menginstruksikan bahwa problem solving dan restorative justice harus atau wajib diupayakan pada setiap penanganan kasus yang bersangkut paut dengan perselisihan antar pihak di jagat media sosial.
Semakin banyak kasus sejenis yang bisa diselesaikan lewat pendekatan keadilan restoratif, mengindikasikan semakin tinggi pula taraf masyarakat dalam berbudaya hukum. Penilaian-penilaian miring tentang kriminalisasi juga akan bisa ditekan. Pada gilirannya ini akan berkontribusi pada tingkat penilaian positif publik pada institusi Polri.