IHRAM.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Sejarawan dan Budayawan Betawi.
Ini slogan kelompok reformasi, sekarang slogan ini cekek leher mereka sendiri.
Saya beroposisi terhadap Orde Baru (Orba) mulai November 1995. Jadi aktivis Islam sepertinya susah sekali. Bikin ini diawasin, bikin itu disatronin. Saking kesal pada bulan November 1995 saya undang pers di Manggala Wanabhakti.
Di situ saya umumkan Partai Masyumi yang dibubarkan Orde Lama (Orla) pada Agustus 1960 berdiri kembali. Sambutan pers luar biasa. Bersama teman-teman kelompok lain kami menyatakan beroposisi terhadap Orba. Gerakan ini berakhir medio Juli 1996 karena aktivis banyak yang ditangkap.
Mulai 1998 muncul gerakan baru dengan judul Reformasi. Saya tidak ikut gerakan ini sama sekali karena beberapa tokohnya pernah jadi orang dekat Pak Harto. Bahkan, Mar'ie Muhamad ex Menkeu dan Harmoko ex Menpen era Pak Harto ikut gebuki Pak Harto.
Apalagi slogan mereka "yang penting Pak Harto jatuh". Artinya mereka bergerak tanpa konsep. Berbeda dg Orde Baru yang bergerak diikuti aktivitas cendekiawan yang menggelar seminar Trace Baru di UI 1966.
Benar saja, lihat kelakuan reformasi. UUD 45 dirusak dengan empat kali amandemen. Konsep pembangunan ekonomi tidak ada. Rekrutmen politik tanpa ukuran. 23 tahun reformasi hasilnya rakyat ngap-ngapan. Ditambah lagi pandemi kopat-kopit. Buat saya pribadi yang paling merisaukan hati jatuhnya kecerdasan ruling elit ke lantai dasar.
Slogan yang penting si Fulan jatuh, jangan ulangi lagi. Konsep-konsep dasar sudah harus difikirkan.