Oleh : Iing Felicia, Pendidik dan Pemerhati Pendidikan Anak Usia Dini
“Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi sering ketakutanlah yang membuat jadi sulit. Jadi, jangan mudah menyerah” Joko Widodo
REPUBLIKA.CO.ID, Pernyataan Presiden Joko Widodo di atas bukan sekadar isapan jempol. Wabah Covid-19 rentan mendegradasi mental bibit-bibit muda kita menjadi generasi rapuh sekaligus penakut. Padahal, yang diharapkan bukanlah ketakutan tetapi kewaspadaan. Ungkapan tersebut pun memotivasi kita untuk tidak mudah menyerah terutama saat menghadapi wabah.
Wabah Covid-19 mengubah begitu banyak hal. Salah satunya, kegiatan bersekolah anak yang harus dilakukan dari rumah. Ruang lingkup gerak dan ekspresi sebatas dinding-dinding rumah. Di satu sisi, pembelajaran daring kenyataannya meminimalkan resiko paparan virus terhadap anak.
Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Itulah yang kita hadapi saat ini. Dinamika pembelajaran saat ini masih terus berkembang dan mencari pola idealnya. Kebutuhan engagement semakin dirasakan penting untuk tetap memotivasi anak belajar. Karena itu, guru, dan orang tua perlu memiliki pemahaman tentang pentingnya memperhatikan kondisi psikis anak selama pembelajaran daring serta konsep cara belajar anak usia dini.
Guru sudah pasti tak mungkin bisa mengatasi persoalan ini sendiri. Ada satu urgensi agar hak anak demi masa depan melalui edukasi dapat dipenuhi. Keterlibatan orang tua menjadi modal mendasar dalam keberhasilan ini. Pendampingan orang tua sebagai model dapat direalisasikan melalui metode pembelajaran interaktif maupun permainan yang mengasah kecerdasan. Orang dewasa menyediakan scaffolding (tahapan pendampingan) bagi anak melalui Zone of Proximal Development (kenyamanan berinteraksi sesuai dengan perkembangan anak) - Vygotsky.
Menurut Seafeld dan Barbour, aktivitas bermain merupakan suatu kegiatan spontan pada anak yang menghubungkannya dengan kegiatan orang dewasa dan lingkungan termasuk di dalamnya imajinasi, penampilan anak dengan menggunakan seluruh perasaan, tangan atau seluruh badan (Carol Seefeldt & Nita Barbour:205). Kegiatan bermain yang dilakukan anak biasanya bersifat spontan penuh imajinasi dan dilakukan dengan segenap perasaannya.
Pada saat bermain anak belajar suatu objek, secara sadar atau tidak sadar ia belajar dari sifat-sifat objek tersebut. Menurut Piaget, bermain itu sangat penting untuk belajar pada anak usia dini. Anak memperoleh informasi demi informasi melalui interaksinya dengan objek dan kelak informasi tersebut disusun menjadi struktur pengetahuan. Bermain merupakan salah satu interaksi anak untuk memperoleh pengetahuan, sebab anak memperoleh pengetahuan melalui objek yang disentuh dan aktivitas yang dilakukan.
Adapun menurut Pestalozzi: pendekatan berpusat pada keluarga bagi anak usia dini, home schooling, dan pendidikan melalui seluruh indera. (Morrison, 2008:56)
Masa usia dini dimulai sejak anak lahir sampai dengan usia 6 (enam) tahun. Periode ini sering disebut sebagai periode keemasan (the golden period). Pada masa ini otak anak sebagai faktor utama pembentukan kecerdasan anak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Dalam periode ini juga sebagian besar waktu anak dihabiskan untuk bermain.
Tergelitik pada teori-teori itu, penulis mencocokkan dengan fakta yang ditemukan pada seorang anak yang duduk di bangku SD kelas 1. Untuk sekian kalinya Nathasia Djong berhasil mencetak prestasi di bidang musik piano. Sudah lebih dari 90 penghargaan nasional dan internasional yang berhasil diraihnya pada saat penulis mewawancarainya.
Menjelajah dunia dan benua secara virtual, diantaranya: Amerika, Eropa, Italia, Chicago, Malaysia, Thailand, Spanyol, Hong Kong dilakukan saat pandemi merajalela. Tanpa meninggalkan bangku sekolah dan tetap belajar dari rumah. Kebermanfaatan yang diperolehnya melalui kedasyatan teknologi digital.
Nathasia Djong merupakan peserta paling muda dari Indonesia saat mengikuti kompetisi piano online “Chicago International Music Competition & Festival” yang berlangsung 25 Juli sampai dengan 21 Agustus 2020. Penampilan online di kompetisi ini adalah kali pertama diikutinya saat pandemi. Ia berhasil meraih predikat Honorable Mention Kategori Young Musician I. https://www.cimcusa.org/article/51.html. Berlanjut dengan penghargaan lainnya.
Ketertarikan Nathasia pada musik sejak usia 1 tahun 8 bulan. Ibunya, Lidiana yang juga guru piano, mewadahi rasa ingin tahu Nathasia dengan memberikan kesempatan untuk bermain-main dengan piano. Layaknya seorang anak usia dini yang memiliki antuasiasme menggebu saat kesenangannya terpenuhi. Melalui gambar-gambar dan warna, Nathasia mendapatkan pengetahuan dari objek yang dilihat, disentuh dan dieksplorasi. Scaffolding diberikan Ibu Lidiana kepada anaknya secara gradual. Kesempatan diberikan agar Nathasia mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia paham dan mampu mengerjakan sendiri.
Kembali kepada masalah pemenuhan hak belajar anak. Mitos dan fakta yang sering terlontar adalah orang tua berlomba-lomba memasukkan anak ke TK agar bisa membaca, menulis, ditambah les membaca model drilling daring. Orang tua menjadi bangga bila anaknya sudah bisa membaca sebelum masuk SD. Guru TK pun melakukan hal sama karena tuntutan. Walaupun dari kajian akademis, anak yang dipaksa calistung sebelum SD bisa memicu penurunan kemampuan literasi saat dewasa nanti.
Penulis berterima kasih saat ini pemerintah menfasilitasi beragam program antara lain Ayo Guru Berbagi, video pembelajaran, aksi webinar, dan parenting. Semua itu adalah merupakan gerakan kolaborasi pemerintah, guru, komunitas dan penggerak pendidikan agar anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan terbaik.
Dengan semangat dan pengetahuan yang mumpuni, penulis berharap guru dan orang tua serta komunitas merealisasikan pembelajaran yang kreatif dan menstimulasi tumbuh kembang anak usia dini secara optimal. Proses adalah bagian terpenting dari semua aktivitas yang diaplikasikan dalam pembelajaran. Pengalaman adalah guru yang terbaik - Marcus Tullius Cicero (106 SM – 43 SM). Sedangkan prestasi anak di usia dini adalah bonus yang merupakan buah manis hasil konsistensi dan kerja keras relasi guru, orang tua dan anak.
Semua tidak bisa dilakukan secara instan. Jangan lelah berusaha karena setiap usaha tidak akan sia-sia, dalam mewujudkan hak anak demi masa depan generasi emas Indonesia 2045. Mari kita bergandeng tangan mengalahkan kekhawatiran dan ketakutan mempersiapkan anak-anak Indonesia mencetak prestasi yang membanggakan.