Oleh : apt. Ana Mardiyaningsih, M.Sc Penulis adalah Dosen Bidang Fitoterapi D3 Farmasi Politeknik Kesehatan Bhakti Setya Indonesia, peneliti bahan alam, dan penulis beberapa buku antologi.
REPUBLIKA.CO.ID, Covid-19 belum jelas obatnya. Trial and error pengobatan Covid-19 masih terus berjalan. Penanganan terhadap infeksi virus, gejala yang muncul, maupun penguatan imunitas adalah fokus terapi saat ini. SARS CoV-2 si penyebab Covid, kini dikenal sebagai makhluk seribu wajah. Virus berukuran mikron ini, mengguncang dunia karena beragam gejala yang membingungkan. Perdebatan tentang obat terbaik, efektivitas vaksin, maupun gejala spesifik, masih terus dinamis. Satu-satunya penanganan yang tidak menjadi perdebatan di kalangan medis adalah penguatan imunitas.
Masyarakat melakukan segala macam cara untuk meningkatkan imun. Ketakutan yang melanda, memicu masyarakat melakukan panic buying tidak hanya terhadap masker, oksigen dan obat, namun juga suplemen dan berbagai produk jamu. Testimoni seseorang tentang minyak kayu putih, herba sambiloto, jahe, maupun qust hindi, menjadikan jamu naik daun di masa pandemi. Saat ini pasar herbal nasional sekitar Rp 20 Triliun, sedangkan pasar dunia mencapai Rp 2000 Triliun. Kebutuhan kesehatan yang menjadi perhatian utama di seluruh dunia, ikut melejitkan potensi jamu sebagai obat tradisional asli Indonesia.
Jamu adalah obat tradisional yang pembuktian khasiat dan keamanannya didasarkan pada data empiris. Jamu sebagai warisan leluhur, terbukti dari sejarah yang tergambar pada relief Candi Borobudur, prasasti, artefak berbentuk lumpang, alu dan pipisan, serta berbagai kitab Usada. Keberadaan peracik jamu (acaraki) dan kebiasaan minum jamu untuk menjaga kesehatan telah dimulai sejak zaman mesoneolitikum.
Jamu kunyit asam adalah jenis jamu gendong, yaitu jamu yang dibuat segar dan langsung dijajakan kepada konsumen. Formula dasar kunyit asam telah diwariskan para leluhur selama lebih dari puluhan generasi. Bukti khasiat dan keamanan berdasarkan ‘ilmu titen” para acaraki, ternyata sejalan dengan penelitian modern dan dapat dibuktikan secara ilmiah.
Bukti pertama kecerdasan leluhur tergambar pada formulasi dasar jamu kunyit asam. Jamu yang diolah dari bahan utama perasan rimpang kunyit (curcuma domestica) dan buah asem jawa (tamarindus indica) ini ternyata menyimpan rahasia kestabilan formula. Kunyit memiliki kandungan senyawa aktif kurkumin dan turunannya, yang stabilitasnya sangat dipengaruhi pada pH (tingkat keasaman). Lingkungan dengan pH basa dapat menyebabkan reaksi hidrolisis dan degradasi pada senyawa kurkumin, sehingga berakibat pada pengurangan potensi terapi. Fenomena ini membuktikan ketajaman naluri leluhur peracik jamu, yang tidak mengenal pengujian ilmiah namun mampu membuat kombinasi ideal antara kurkumin pada kunyit dengan suasana asam dari buah asam jawa.
Bukti kedua kecerdasan leluhur dalam formulasi kunyit asam adalah pada teknik penyarian. Kunyit disari dengan cara dipipis atau ditumbuk kemudian diperas, bukan dengan direbus. Sebuah studi KLT (Kromatografi Lapis Tipis) menunjukkan bahwa perasan kunyit memiliki spot senyawa kurkumin lebih tebal dibandingkan rebusan kunyit. Hal ini menggambarkan bahwa kandungan kurkumin pada formula kunyit asam relatif lebih banyak daripada sekedar rebusan rimpang.
Bukti ketiga kecerdasan leluhur dalam formulasi kunyit asam adalah pada efek kombinasi berupa sinergisme. Penelitian Sri Mulyani dan timnya dalam Jurnal Agritech menunjukkan bahwa kombinasi kunyit dan buah asam jawa memiliki efek sinergisme antioksidan sangat kuat, bahkan lebih besar efeknya daripada antioksidan sintetik BHT (butylated hydroxytoluene). Efek antioksidan tersebut berasal dari senyawa kurkuminoid, flavonoid dan vitamin C dari kedua komponen, yang kekuatannya dipengaruhi juga oleh suasana pH dan lama pemasakan jamu.
Telaah khasiat kunyit asam dalam kontribusinya pada Covid-19 dapat dikaitkan dari efeknya pada peningkatan daya tahan tubuh. Kunyit memiliki kandungan kurkuminoid serta senyawa bioaktif lainnya yaitu asam askorbat (vitamin C), eugenol, dan karotenoid. Kurkuminoid memiliki aktivitas farmakologis diantaranya antioksidan, antiradang, dan antikanker. Vitamin C berperan pada peningkatan level antibodi serta meningkatkan daya bunuh sel imun terhadap mikroba termasuk virus.
Pedoman Penggunaan Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan BPOM RI serta Buku Saku Obat Tradisional untuk Daya Tahan Tubuh menyebutkan bahwa kunyit adalah salah satu bahan nabati yang potensial untuk meningkatkan imunitas. Rimpang kunyit dapat digunakan pada dosis 3-9 g/ hari. Kunyit bahkan mendapat julukan sebagai “obat dewa” versi tradisional di kalangan peneliti dan herbalis karena memiliki empat puluh lebih potensi terapi. Penggunaan kunyit secara tepat dosis, dan tepat indikasi, akan memberikan manfaat bagi masyarakat baik dewasa maupun anak-anak.
Sayangnya, minat terhadap jamu gendong masih rendah, khususnya pada remaja dan anak-anak. Generasi zaman digital yang dikenal dengan generasi Z dan Alpha, seharusnya dapat mengambil manfaat banyak dari jamu. Riset menunjukkan jumlah pengguna jamu baru berkisar 49,53%. Menurut Kepala Badan POM Penny Lukito, jamu gendong memiliki peran penting sebagai tulang punggung ekonomi kerakyatan berbasis kearifan lokal. Pengembangan ini membutuhkan sinergi. Pemerintah memberikan pembinaan, perajin jamu melakukan perbaikan mutu produk sesuai zaman, sedangkan masyarakat menggerakkan budaya minum jamu. Gerakan minum jamu telah dicanangkan oleh Kemenkes RI sejak 23 Januari 2015 melalui Bude (Bugar dengan) Jamu, namun gaungnya belum berdampak pada perajin jamu gendong.
Telaah tentang jamu sangat menarik untuk dikuak, karena menegaskan kepada masyarakat modern tentang kecerdasan ilmu pengobatan warisan leluhur Indonesia. Jamu kunyit asam telah bertahan lintas zaman, tidak hanya sampai pada generasi Z namun hingga generasi Alpha. Generasi Alpha termasuk di dalamnya remaja dan anak-anak, perlu dikenalkan pada rasa dan aroma kunyit asam, sebagai budaya sehat yang penuh manfaat.