REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Budayawan dan sejararawan Betawi.
Masa sekarang pade ribut soal amandemen. Banyak kabar yag menyertainya dari perpanjangan masa jabatan presiden, GBHN, kedudukan DPD, dan hal lainnya. Sebagian pihak ada juga yang ingin kembali ke UUD 1945 asli.
Tapi zaman dahulu, soal ini pun sudah dibahas. Misalnya ketika menyangkut perkara Dekrit Presiden Kembali ke UUD 45 dikeluarkan pada 5 Juli 1959 yang didasarkan pada asumsi bila Dewan Konstituante gagal menjalankan tugasnya.
Tapi benarkah begitu?
Berdasarkan UUDS 1950 Konstituante adalah lembaga pembentuk UUD. Pembentukan lembaga ini berdasar hasil pemilu. Konstituante bekerja untuk selama tiga tahun saja.
Mekanisme kerja Konstituante di samping adanya sidang-sidang pleno, ada badan kelengkapan yang disebut Panitia Khusus (PK). Anggota PK dari merupakan wakil-wakil fraksi di parlemen.
Sidang pleno memang gagal membuat putusan ttg dasar Negara, tetapi sampai dengan masa Konstituante reses pada April 1959 PK menginventarisasi 19 masalah termasuk dasar negara (lihat notulen rapat-rapat Konstituante). Sedianya masalah ini akan diselesaikan pada masa sidang terakhir Agustus- September 1959, tapi keburu kesodok Dekrit.
Sidang Konstituante yang berlangsung sejak tahun 1957 dalam situasi tak tenteram. Februari 1958 terjadi pemberontakan PRRI yg baru mereda bulan Juli tahun yang sama. Masuk tahun 1959 partai kecil ancam boikot Kontituante. Akhirnya Dekrit 5 Juli dikeluakan yang isinya Konstituante dibubarkan dan pemberlakuan kembali UUD 45.
43 thn kemudian pada 2002, UUD 45 dirubah bertalu-talu. Dan kini terbit lagi keinginan mau robah itu UUD dengan tambah pasal haluan Negara. Ini bukan hal baru karena jaman Pak Harto ada GBHN yang dibuang oleh kaum Reformasi sendiri. Yang sudah mereka buang, mau dipungut lagi.
Jangan gitu donk?