REPUBLIKA.CO.ID, NAGOYA -- Para ilmuwan telah menghitung jumlah sinar kosmik yang dihasilkan dalam sisa supernova untuk pertama kalinya. Penelitian baru ini dipimpin oleh Universitas Nagoya.
Penelitian tersebut telah membantu memecahkan misteri 100 tahun dan merupakan langkah besar menuju penentuan dengan tepat darimana sinar kosmik berasal. Dilansir dari Sciencealert, Ahad (29/8), sementara para ilmuwan berteori bahwa sinar kosmik berasal dari banyak sumber-matahari kita, supernova, semburan sinar gamma (GRB) dan inti galaksi aktif (alias quasar)- asal usul pastinya telah menjadi misteri sejak pertama kali ditemukan pada 1912.
Demikian pula, para astronom telah berteori bahwa sisa-sisa supernova (efek samping ledakan supernova) bertanggung jawab untuk mempercepatnya hingga mendekati kecepatan cahaya. Saat mereka melakukan perjalanan melalui galaksi kita, sinar kosmik berperan dalam evolusi kimia medium antar bintang (ISM). Dengan demikian, memahami asal-usul mereka sangat penting untuk memahami bagaimana galaksi berevolusi.
Dalam beberapa tahun terakhir, pengamatan yang lebih baik telah membuat beberapa ilmuwan berspekulasi bahwa sisa-sisa supernova memunculkan sinar kosmik karena proton yang dipercepatnya berinteraksi dengan proton di ISM untuk menciptakan sinar gamma berenergi sangat tinggi (VHE).
Namun, sinar gamma juga dihasilkan oleh elektron yang berinteraksi dengan foton di ISM, yang dapat berupa foton inframerah atau radiasi dari Cosmic Microwave Background (CMB). Oleh karena itu, menentukan sumber mana yang lebih besar adalah yang terpenting untuk menentukan asal-usul sinar kosmik.
Berharap untuk menjelaskan hal ini, tim peneliti-yang termasuk anggota dari Universitas Nagoya, Observatorium Astronomi Nasional Jepang (NAOJ) dan Universitas Adelaide Australia-mengamati sisa supernova RX J1713. Kunci penelitian mereka adalah pendekatan baru yang mereka kembangkan untuk mengukur sumber sinar gamma di ruang antarbintang.
Pengamatan sebelumnya telah menunjukkan intensitas sinar gamma VHE yang disebabkan oleh proton bertabrakan dengan proton lain di ISM sebanding dengan kerapatan gas antarbintang, yang dapat dilihat menggunakan pencitraan radio-line. Di sisi lain, sinar gamma yang disebabkan oleh interaksi elektron dengan foton di ISM yang diharapkan sebanding dengan intensitas sinar-X nontermal dari elektron.
Demi studi mereka, tim mengandalkan data yang diperoleh oleh High Energy Stereoscopic System (HESS), sebuah observatorium sinar gamma VHE yang berlokasi di Namibia (dan dioperasikan oleh Institut Max Planck untuk Fisika Nuklir). Mereka kemudian menggabungkan ini dengan data sinar-X yang diperoleh oleh observatorium Multi Mirror Mission (XMM-Newton) dan data tentang distribusi gas di medium antarbintang.
Mereka kemudian menggabungkan ketiga set data dan menentukan bahwa proton menyumbang 67 ±8 persen sinar kosmik sementara elektron sinar kosmik menyumbang 33 ± 8 persen-kira-kira pecahan 70/30. Temuan ini merupakan terobosan karena ini pertama kalinya kemungkinan asal usul sinar kosmik diukur. Mereka juga merupakan bukti paling pasti hingga saat ini bahwa sisa-sisa supernova adalah sumber sinar kosmik.
Hasil ini juga menunjukkan sinar gamma dari proton lebih umum di daerah antarbintang yang kaya gas, sedangkan yang disebabkan oleh elektron meningkat di daerah yang miskin gas. Ini mendukung apa yang telah diprediksi oleh banyak peneliti, yaitu kedua mekanisme tersebut bekerja sama untuk mempengaruhi evolusi ISM.
“Metode baru ini tidak dapat dicapai tanpa kolaborasi internasional. [Ini] akan diterapkan pada lebih banyak sisa-sisa supernova menggunakan teleskop sinar gamma generasi berikutnya CTA (Cherenkov Telescope Array) di samping observatorium yang ada, yang akan sangat memajukan studi tentang asal-usul sinar kosmik,” ujar Profesor Emeritus Yasuo Fukui, yang merupakan penulis utama studi tersebut.