Oleh : Karta Raharja Ucu, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Dunia kampus adalah miniatur dari kehidupan dalam bernegara. Rektor, dekan, kepala prodi, dosen, yang menjalankan "pemerintahan" di kampus. Sementara mahasiswa adalah rakyatnya yang mendapatkan sejumlah hak, salah satunya pendidikan. Sayangnya, tidak sedikit kampus yang kurang berhasil mengantarkan mahasiswanya bertarung di dunia kerja atau usaha, lantaran tak memberikan banyak pengalaman selama berkutat di bangku kuliah.
Saya ingin sedikit cerita tentang bagaimana sebuah kampus kurang memanfaatkan waktu untuk "memaksa" mahasiswanya mempelajari pelajaran di prodi lain atau belajar langsung lewat praktik kerja di lapangan. Beberapa tahun lalu saya diminta kepala redaksi Republika.co.id mewawancarai seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Sebut saja Adik Z. Dia adalah satu dari sekian banyak mahasiswa yang mengajukan lamaran untuk magang kerja di Republika sebagai bagian dari kewajiban melaksanakan mata kuliah PKL.
Seperti biasa, mahasiswa yang ingin magang di kantor kami, khususnya di bidang redaksi, harus melewati sedikitnya dua tahapan. Pertama berbincang dengan penanggung jawab yang ditunjuk. Setelah itu, calon peserta magang diminta membuat sejumlah berita sebagai bagian dari tahapan seleksi.
Biasanya kualitas mahasiswa itu akan terbaca ketika kami ajak berbincang santai di ruang redaksi Republika.co.id. Bagaimana aktivitasnya di kampus, apa saja kegiatannya di rumah, apa saja buku yang dibaca, dan sebagainya. Adik Z ketika itu cukup baik mengerjakan tugas membuat berita, tetapi ketika di sesi bincang santai mulai terbuka bagaimana keseharian dia sebagai seorang mahasiswa. Dia mengakui selama di kampus ia tidak memanfaatkan waktunya untuk mengikuti organisasi, sehingga tidak memiliki teman diskusi. Ia juga hampir tidak pernah mendaras buku dan atau pergi ke perpustakaan kampus, Adik Z juga mengakui sangat jarang membaca koran/majalah/media atau menonton berita di televisi sehingga ketinggalan informasi.
Kampus, bagi Adik Z hanya sekadar sarana mengejar gelar. Tentu saya tidak memvonis itu sebagai kesalahan. Namun, ada pengakuan Adik Z yang cukup mengejutkan yakni perkuliahan yang dijalaninya berlangsung satu arah. Dosennya di kampus, klaim Adik Z, sangat jarang berdiskusi di ruang kelas, sehingga hanya memberikan materi, menerangkan dan meminta mahasiswa mencatat, lalu kelas bubar. Di akhir semester mahasiwa mengikuti ujian tertulis untuk mendapatkan hasil yang berbeda: lulus atau mengulang mata kuliah yang sama semester depan.
Prasangka baik saya, bukan dosen yang tidak pernah mengajak berdiskusi, tetapi Adik Z yang tidak tertarik berdiskusi dengan gurunya. Namun terlepas dari itu, kita harus akui selama ini tidak sedikit kampus yang sekadar menjalankan roda perkuliahannya dengan cara monoton. Mencekoki mahasiswa dengan materi dan teori, lalu memaksa mengikuti ujian di akhir semester. Celakanya, jika mahasiswa tidak berinisiatif ikut organisasi atau aktif ikut seminar, berdiskusi dengan banyak orang, sepanjang menjadi mahasiswa dia hanya akan mendapatkan teori dengan sedikit pengalaman di dunia kerja.
Berangkat dari situasi tersebut, tak heran jika peringkat perguruan tinggi Indonesia di dunia, tertinggal amat sangat jauh dari negara-negara tetangga. Kualitas sumber daya manusia (SDM) lulusan perguruan tinggi kita tertinggal karena sejumlah faktor, termasuk pola pembelajaran dari kampus di dalamnya.
Guna mengejar kampus kita yang ketinggalan kereta, pemerintah putar otak mencari solusi. Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka pun menjadi salah satu inovasi untuk memperbaiki atmosfer di dunia kampus, sehingga diharapkan mampu memulihkan kembali kualitas pendidikan di perguruan tinggi yang akan berimbas dengan naiknya kualitas SDM.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim menyampaikan konsep Kampus Merdeka mendukung terciptanya keleluasaan bagi perguruan tinggi. Khususnya meningkatkan kapabilitas agar mampu menghasilkan lulusan yang mumpuni dan terserap di dunia kerja.
Kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka semakin implementatif dan memiliki payung hukum, terjabar ke dalam lima Permendikbud dan sudah disahkan. Lima Permendikbud itu adalah Permendikbud No 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Permendikbud No 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum dan Permendikbud No 5 tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi.Lalu, Permendikbud No 6 tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri, dan Permendikbud No 7 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri dan Pendirian, Perubahan dan Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.
Sedikit penjelasan, di dalam kebijakan Kampus Merdeka kemitraan akan lebih terbuka. Kemitraan ini bisa dilakukan lintas program studi, universitas, dunia industri, perusahaan, kementerian/lembaga, hingga organisasi nirlaba tingkat dunia membuka peluang bagi perguruan tinggi mewujudkan kebijakan Kampus Merdeka.
Melalui Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, mahasiswa memiliki kesempatan untuk satu semester atau setara dengan 20 sks menempuh pembelajaran di luar program studi pada perguruan tinggi yang sama; dan paling lama dua semester atau setara dengan 40 sks menempuh pembelajaran pada program studi yang sama di perguruan tinggi yang berbeda, pembelajaran pada program studi yang berbeda di perguruan tinggi yang berbeda; dan/atau pembelajaran di luar perguruan tinggi. Pembelajaran dalam Kampus Merdeka memberikan tantangan dan kesempatan untuk pengembangan kreativitas, kapasitas, kepribadian, dan kebutuhan mahasiswa, serta mengembangkan kemandirian dalam mencari dan menemukan pengetahuan melalui kenyataan dan dinamika lapangan seperti persyaratan kemampuan, permasalahan riil, interaksi sosial, kolaborasi, manajemen diri, tuntutan kinerja, target dan pencapaiannya.
Program ini memungkinkan mahasiswa mengikuti berbagai pilihan kegiatan, mulai dari program kuliah di lintas prodi baik di dalam dan luar kampus, pelatihan kewirausahaan, magang perusahaan, ikut berbagai projek dan perlombaan, pertukaran mahasiswa, ikut kegiatan aksi kemanusiaan, mengabdi sebagai pengajar, atau melaksanakan KKN membangun desa selama 6 bulan. Kegiatan tersebut nantinya diakui sebagai bagian dari kredit mata kuliah yang dimasukkan dalam transkrip nilai ijazah.
Sejak diluncurkan, program ini menimbulkan perdebatan. Perbedaan pendapat muncul di semua level; mahasiswa, para dosen maupun tenaga kependidikan di perguruan tinggi dengan alasan masing-masing. Bisa jadi perdebatan lahir karena didasari pemahaman yang memadai mengenai konsep tersebut, atau belum paham sama sekali sehingga tidak setuju.
Protes datang dari Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Sulthan Farras di awal-awal program tersebut diluncurkan. Ia menilai program tersebut sangat kental dengan pendekatan pasar, di mana mahasiswa ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan industri. Program tersebut dipahami untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi fokus utama Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode keduanya. Sayangnya, dia menilai Nadiem tidak menyentuh soal ketimpangan kualitas perguruan tinggi.
Menurut Sulthan, ketimpangan terlihat dari kesenjangan skor antarkampus dalam statistik soal rangking kampus nasional. Padahal program tidak akan maksimal jika diterapkan dengan kondisi perguruan tinggi yang timpang kualitasnya. Karena itu, perlunya memperkuat pondasi yang sebaik mungkin.
Keraguan juga disampaikan Ketua BEM Universitas Indonesia Fajar Adi Nugroho. Perguruan tinggi dinilai Fajar punya cukup waktu melakukan penyesuaian dalam program tersebut. Sebab, program Merdeka Belajar-Kampus Mereka dinilainya akan mengubah cukup banyak hal fundamental dalam pendidikan tinggi, salah satunya kurikulum.
Program magang kerja ini juga diwanti-wanti jangan sampai menjadi alat bagi industri atau perusahaan mendapatkan tenaga kerja murah. Karena itu perlu ada pengaturan dan peraturan yang jelas dari pemerintah dan perusahaan yang terlibat dalam program tersebut.
Namun, daripada kita tenggelam dalam debat kusir yang tiada akhir, lebih baik kita membedah apa saja keuntungan yang didapat dari program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, alih-alih mengoreksi tanpa solusi.
Tengok penjelasan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof Nizam yang menyebut program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka adalah upaya pemerintah membangun atmosfer kampus yang sehat. Kampus diberikan kemudahan menjawab tantangan global serta...