REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai ulama, almarhum buya Hamka tak cuma matang dalam urusan agama. Masalah lain seperti filsafat juga menjadi bagian dari pemikiran yang dituangkannya dalam banyak buku serta tulisan.
Kemampuanya dalam bidang filsafat membuat Hamka secara elegan mampu melihat perubahan pemahaman dan peradaban dunia dengan konsep final yang ada dalam agama.
Demikian benang merah yang terangkum dari diskusi “Mengurai Titik Temu Falsafah Ketuhanan, Kemanusiaan dan Negara Buya HAMKA” yang menghadirkan Guru Besar Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Zainun Kamal dan ahli filsafat dari Universitas Indonesia, Rocky Gerung. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Buya Hamka (PSBH) Uhamka Jakarta, Rabu (1/9).
Dr Bunyamin selaku pimpinan Universitas UHAMKA menyebut Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) adalah ulama yang akrab dengan filsafat. Filsafat digunakannya sebagai alat untuk memahami dan juga memberikan pandangan terkait kondisi-kondisi terkini pada zamannya.
“Islam sebagai dasar pemikiran Hamka bertalian dengan filsafat yang membentuk kombinasi mengagumkan yang harusnya dapat dicontoh generasi kini untuk mengurai persoalan bangsa saat ini,” kata wakil rektor bidang Al Islam dan Kemuhammadiyahan ini.
Sementara Rocky Gerung yang tampil sebagai pembicara pertama menjelaskan, Hamka adalah seseorang yang meletakkan keyakinannya dalam ajaran agama (Islam) yang final sebagai fondasi utama pemikirannya.
Ia memberikan istilah Tauhid First sebagai salah satu keunikan yang dimiliki oleh seorang Hamka. Tauhid First ini bersatu padu dengan kemampuan filsafat yang dimilikinya untuk memahami dan menyikapi pelbagai persoalan yang ada pada zamannya.
“Berbeda dengan pemikir Barat yang secara absolut meletakkan filsafat pada basis kesetaraan dan kebebasan individual dan mempertanyakan segala hal, sedangkan Hamka ada beberapa nilai atau ajaran yang telah bersifat final,” jelasnya.
Rocky menambahkan semasa hidupnya Hamka adalah seorang yang terjun dan bersentuhan langsung dengan masyarakatnya. Pernah terjun ke politik praktis, aktifis dan jurnalis. “Sehingga dapat dikatakan bahwa Hamka adalah sosok yang menginginkan semua orang secara luas dapat mengkakses jalan pikirannya. Tak hanya itu, sebagai orang yang merdeka, dia membentuk sendiri kurikulum etisnya,” katanya.
Prof Zainun Kamal menilai Hamka adalah salah satu nama besar yang sangat ia kagumi, selain M. Hatta dan M. Natsir. Tak seperti dua nama besar tadi, kata dia, Hamka memperoleh kemampuan filsafat lewat berbagai macam pendidikan.
Pendidikan pertama didapat dari ayahnya sendiri Syekh Haji Abdul Karim Amrullah yang merupakan seorang ulama besar dan tokoh utama kaum muda. Lewat ayahnya, Hamka belajar agama Islam dasar seperti Quran dan Hadits. Lalu di Perguruan Thawalib Padang Panjang yang menerapkan sistem pendidikan Islam modern. Terakhir, pendidikan dari alam Minangkabau itu sendiri.
“Alam Minangkabau merupakan alam yang penuh dengan dialektika dan perdebatan. Minangkabau yang memegang filosofi “Alam Takambang Jadi Guru” menjadikan Hamka selalu giat untuk menuntut ilmu dan belajar dari alam dan kondisi sosialnya yang selalu dinamis,” katanya.