Oleh : Nashih Nashrullah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Barangkali anekdot klasik dari bangsa Arab berikut ini bisa sedikit menjadi bahan renungan, bahwa man la yamliku tha'amahu la yamliku qararahu. Hidup memang bukan untuk makan, tetapi makan adalah penunjang utama untuk tetap hidup.
Anekdot itu menyatakan, tanpa makanan, sering kali logika tak terarah. Dalam konsep Islam, tak hanya logika, tetapi menjaga ketahanan pangan, berarti pula mempertahankan lima tujuan syariah (dharuriyat al-khamsah). Jika dibahasakan sederhana, memperoleh pangan adalah hak asasi manusia yang harus dipenuhi dalam rangka menopang kelangsungan hidup. Ini mengapa misalnya Deklarasi Roma (1996), menyatakan mendapatkan pangan adalah satu dari sekian hak yang harus dipenuhi.
Dalam konteks ini, pemerintah memang tengah melakukan upaya memperkuat ketahanan pangan, sebagaimana amanat UU No. 18/2012 tentang Pangan. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa Ketahanan Pangan adalah “kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.
Namun sayangnya, hal ini tak disertai komitmen serius mempertahankan lahan-lahan pertanian yang memang diperuntukkan untuk sawah dan bercocok tanam. Alih fungsi lahan pertanian untuk hunian cukup memprihatinkan.
Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pada 2013 lalu masih menyebutkan secara total terdapat 7,75 juta hektare lahan sawah. Tanah sawah ini terus mengalami penyusutan tiap tahun dari 150 ribu hingga 200 ribu hektare akibat alih fungsi. Jumlah ini belakangan, menurut Kementerian Pertanian, angkanya cukup drastis penyusutannya mencapai 650 ribu hektare per tahun, ekuivalen dengan 6,5 juta ton beras.
Perlu ketegasan pemerintah untuk mencegah alih fungsi lahan itu. Berbicara bagaimana konsepsi Islam, tentang ketahanan pangan, hal yang paling pokok adalah kemampuan bercocok tanam dan ketersediaan lahan. Sebuah kitab klasik besutan Abu Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Umar al-Habasyi al-Wishabi yang berjudul al-Harakah fi Fadhli as-Sa'yi wa al-Harakah, mencoba menguraikan tentang urgensi bercocok tanam dan perhatian Islam dalam pengelohan hasil bumi dari berkebun dan bertani.
Ulama yang wafat pada 782 H itu menegaskan bahwa secara garis besar, ada tiga profesi utama yaitu bercocok tanam, industri, dan perdagangan. Mengutip perkataan Imam al-Mawardi, bercocok tanam adalah profesi paling terhormat. Ini lantaran pekerjaan tersebut menuntut dedikasi yang tinggi dan sikap tawakal penuh terhadap Allah SWT. Al-Mawardi pun menukilkan sebuah hadis, tentang keutamaan bertawakal. “Orang yang bertawakal akan masuk surga tanpa hisab,” sabda Rasulullah SAW di hadist itu.
Imam an-Nawawi menambahkan, pekerjaan ini diposisikan terhormat karena memberikan manfaat yang sangat banyak bagi kelangsungan hidup manusia. Bahkan, faedah bercocok tanam tidak hanya terbatas untuk manusia, akan tetapi juga berguna bagi makhluk hidup lainnya. Binatang-binatang yang hidup di bumi, juga merasakan dampak dari bercocok tanam, seperti sapi, kerbau, kuda, ataupun burung.
Al-Wishabi menegaskan, hukum bertani adalah fardhu kifayah. Kewajiban tersebut gugur jika telah dilaksanakan oleh sekelompok orang. Bila tak ada satu pun pihak yang melaksanakan tuntutan ini, maka sanksi dosa akan ditujukan ke semua orang. Penempatan profesi ini dalam kategori fardhu kifayah, sebab urgensi dan ketergantungan segenap umat manusia terhadap hasil bercocok tanam.
Kedua imam terkemuka, yakni Imam al-Haramain dan an-Nawawi menyatakan, ada kalanya fardhu kifayah bisa lebih utama ketimbang fardhu a'in. Karena, tanggungan fardhu kifayah bila tak terpenuhi oleh satu pun orang, dosanya akan dipikul secara kolektif. Berbeda dengan fardhu ain, yang seandainya tak dikerjakan dampak hukumnya kembali ke individu saja.
Bercocok tanam, sangat terpandang dalam Islam, demikian ungkap al-Wishabi. Keutamaan bertani ataupun bercocok tanam, diabadikan baik dalam ayat Alquran ataupun sabda Rasul.
Melalui profesi ini, ungkap al-Wishabi, maka akan terang benderang tentang kekuasaan Allah SWT. Dia mendeklarasikan sebagai satu-satunya pencipta yang menguasai unsur air, mengubahnya menjadi air hujan lalu menurunkannya ke bumi, untuk menghidupi berbagai macam tanaman yang dipergunakan bagi kelangsungan makhluk hidup.
“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak.” (QS al-An'am [6]: 99).
Keistimewaan ini juga dikuatkan di sejumlah hadis. Di antaranya hadis dari Abdullah bin Umar. Hadis yang dinukilkan oleh ats-Tsa'labi dan al-Wahidi itu menyatakan bahwa orang yang bercocok tanam akan mendapat pahala di sisi Allah SWT.
Tiap batang tanaman yang ia budi dayakan pada hakikatnya, tertulis asma Allah di dalamnya. Maka, tiap langkah yang diayunkan seorang petani menuju ladang pun, sejatinya akan teriring dengan pahala basmalah tersebut.
Sebuah riwayat Muslim menegaskan pula tentang keutamaan berladang. Terlebih bila pekerjaan itu dilakukan oleh seorang Muslim. Suatu saat, Rasul bertemu dengan Ummu Basyar al-Anshariyah di kebun kurma. Rasul memanyakan, milik siapakah kebun ini dan siapa yang menanam ratusan pohon kurma tersebut. “Muslim atau non-Muslimkah ia?” kata Rasul. Ternyata, jawabannya adalah Muslim.
Rasul pun mengungkapkan pahala yang menyertai peladang Muslim tersebut. Bahwa, tidak ada ganjaran yang lebih pantas bagi seorang Muslim yang menanam tanaman, lalu dijadikan makanan manusia ataupun binatang melata atau apa pun, kecuali akan tercatat sebagai sedekah baginya hingga hari kiamat kelak. Tidak heran bila tak sedikit kalangan Anshar ataupun Muhajirin yang menyibukkan diri dengan bertani atau berladang.
Konon, Abu Hurairah yang terkenal dengan periwayatan hadis terbanyak pun, tersohor dengan aktivitas berladangnya. Para sahabat, memang luar biasa, mereka zuhud, ahli ibadah, dan pakar agama, tetapi tak pernah abai terhadap urusan duniawi mereka. Tak terkecuali, bersumbangsih untuk kelangsungan hidup segenap makhluk, lewat berladang atau bercocok tanam. Ketahanan pangan pun menjadi keniscayaan dalam peradaban Islam.