Kamis 09 Sep 2021 12:10 WIB

Akal Sehat Telah Mati Ketika Pandemi

Untuk mencari kebenaran ada dua syarat yakni akal sehat dan hati yang bening.

Vaksinator mempersiapkan vaksin COVID-19 sebelum diberikan kepada warga (ilustrasi).
Foto: Prayogi/Republika
Vaksinator mempersiapkan vaksin COVID-19 sebelum diberikan kepada warga (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Endang Tirtana, Peneliti Maarif Institute Jakarta

Akal sehat telah mati dibunuh oleh kebencian, hasutan, dan ketidakpercayaan terhadap sains. Kematiannya dirayakan secara suka cita hampir setiap hari oleh para pembunuhnya di media sosial, mimbar-mimbar, forum-forum kajian, dan lainnya.

Masih segar dalam ingatan, pada awal pandemi, atau bahkan sampai sekarang, banyak orang meyakini bahwa virus Covid-19 adalah konspirasi jahat untuk menjauhkan setiap orang kepada keyakinan agamanya.

Covid-19 dibilang sebagai tentara Tuhan yang diutus untuk menghancurkan musuh-musuhnya. Tidak sedikit di antara mereka yang menyampaikan adalah para tokoh agama. Orang-orang yang semestinya menuntun umat agar selalu menjaga atau memelihara akal sehat untuk tetap waras.

Padahal Covid-19 telah merenggut ratusan ribu orang, meninggalkan duka dan sedih. Tidak bisa bertemu, berpamitan, dan mengantarkan orang-orang yang dicintai ke pusara. Hanya tangis dan doa dari jauh yang bisa dilakukan. Kenyataan ini tidak mampu menggugah hati dan pikiran mereka.

Kaum Anti-Vax

Mereka yang meyakini teori konspirasi ini juga memiliki pandangan bahwa vaksin bukan solusi. Mulai dari soal kehalalan vaksin, bisa mengubah DNA, mengandung microchip untuk mengendalikan orang yang telah divaksin, hingga bagian dari rencana pembantaian massal.

Narasi itu mereka produksi untuk mempengaruhi khalayak. Hasilnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menangkap opini adanya 36 persen masyarakat yang tidak bersedia divaksin. Survei dilakukan pada 22-25 Juni 2021 terhadap 1.200 responden di 34 provinsi, dengan margin of error 2,8 persen.

Sikap masyarakat anti-vax dan anti-sains ini mengingatkan pada masa kegelapan di Eropa semasa Abad Pertengahan. Mengapa disebut kegelapan, karena terjadinya penyangkalan terhadap ilmu pengetahuan oleh masyarakat dan lembaga-lembaga berpengaruh termasuk institusi gereja.

Teori konspirasi dan kaum anti-vax dikhawatirkan akan mempengaruhi pula perilaku mereka terhadap protokol kesehatan. Bahwa yang patut ditakuti hanya Tuhan, tidak perlu takut karena virus Covid-19 adalah ciptaan Tuhan, dan kematian adalah takdir atau kehendak Tuhan.

Perilaku kaum anti-vax ini akan mengganggu program penanganan covid yang dilakukan pemerintah. Ini terbukti terjadi di Amerika Serikat dengan mengalami kenaikan kasus covid mencapai 191.165 pada 27 Agustus 2021. Kesadaran warga menjadi salah satu kunci utama dalam penanganan covid-19.

Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam wawancara dengan Media Indonesia (2016), untuk mencari kebenaran ada dua syarat, yaitu 'aqlun shahih wa qalbun salim (akal yang sehat dan hati yang bening). Ketika kedua syarat itu ada, barulah kebenaran bisa bersahabat dengan kita. Tanpa itu tidak mungkin. Menjaga akal sehat untuk tetap waras dan menjaga keselamatan jiwa adalah bagian dari tujuan agama.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement