Ahad 12 Sep 2021 20:29 WIB

Pandemi Menguji Naluri 'Ibu Suri'

Gelar 'multitasking mom' patut tersemat untuk seluruh ibu di dunia

Pekerja menyelesaikan kerajinan tangan yang berbahan dasar batang enceng gondok kering di UMKM Win
Foto: Antara/Zabur Karuru
Pekerja menyelesaikan kerajinan tangan yang berbahan dasar batang enceng gondok kering di UMKM Win

Oleh : Riza Fauzia (Ibu Rumah Tangga, Penulis)

REPUBLIKA.CO.ID,  Tak terasa sudah 1,5 tahun lamanya pandemi telah menghiasi bumi ibu pertiwi. Awalnya gundah gulana, lama-lama terbiasa. Sempat kebingungan,”Apa yang harus saya lakukan untuk keluarga selama pandemi di rumah aja? Apa yang bisa saya lakukan untuk buah hati sendiri selama menjalani PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) di rumah?” Barangkali saya hanya segelintir dari sekian banyak ibu lainnya yang merasakan kebimbangan seperti tadi. 

        Ibu Suri identik dengan ibu tiri yang kejam. Emosi yang teruji selama membersamai buah hati yang seringkali mengeluarkan tanduk di kepalanya, ibarat “ibu suri” yang kejam dan selalu membuat gusar. Bagi saya rumah adalah istana tempat bernaungnya para raja dan ratu. Ya, raja dan ratu cilik yang tak lain ialah buah hati tercinta. Dalam situasi pandemi ini, bila “ibu suri” tak mampu memuliakan dan bersikap ekstra sabar pada seluruh penghuni istana, sudah pasti kemarahan akan terus menghiasi sepanjang hari. Sedikit memompa denyut jantung, juga memancing emosi. Cukup menguras tenaga dan pikiran. 

       Kini peran serta seorang ibu dituntut dalam berbagai aspek kehidupan. Ibu yang tugas utamanya melahirkan, menyusui, merawat dan membimbing buah hatinya. Kini harus bisa berperan ganda menjadi seorang guru bagi buah hatinya di rumah. Gelar multitasking mom patut tersemat untuk seluruh ibu di seluruh penjuru dunia selama pandemi melanda. Pandemi berhasil mengubah kedudukannya dulu. Ibu di masa pandemi lebih yahud. Menjadi ibu di luar pandemi saja sudah rumit, kini harus ditambah lagi peranannya. Super sekali!

       Segelintir “ibu suri” sempat terpancing emosi saat mengajari buah hatinya belajar di rumah. Sempat viral seorang ibu dari Manado beberapa waktu lalu. Video live streaming di akun media sosialnya, dimana ia sedang tersulut emosi saat mengajari buah hatinya membacakan Teks Pancasila. Untung saja video viralnya saat itu diapresiasi oleh banyak stasiun televisi, sehingga menjadikannya bintang tamu di beberapa acara talk show di Indonesia. Mendadak namanya dikenal oleh para netizen warga +62. 

       Namun tak semua ibu memiliki keberanian untuk bisa melakukan hal serupa, dan tak semua ibu mau mengunggah kebiasaan saat membersamai buah hatinya di akun media sosial yang dimilikinya. Bahkan tak semua ibu memiliki akun media sosial. Para ibu yang enggan mengumbar aktivitas saat mengajar buah hatinya bukan berarti ia tak kekinian. Biasanya ia sangat menjaga privasi demi menjaga kesehatan mentalnya. Tidak dalam situasi pandemi saja, kita semua dianjurkan untuk lebih bijak saat berselancar di dunia maya. 

       Dalam situasi seperti saat ini, “ibu suri” dituntut untuk bisa mengendalikan emosi dan amarahnya. Keadaan emosi yang naik turun, serta kesabaran yang terus diuji menjadikan nalurinya harus bisa dikendalikan dengan sangat baik. Jika salah bersikap, bisa membuat seluruh penghuni istana naik pitam. Sehingga membuat situasi yang ada menjadi chaos.   

       Tak jarang buah hati tantrum saat merasa jenuh dengan proses pembelajaran daring. Lagi-lagi ibu yang membersamainya harus memutar otak, memikirkan solusi agar buah hati pun mau belajar tanpa tantrum. Keadaan seperti itu jelas tak mudah untuk dihadapi. Bila hanya memiliki seorang buah hati saja bisa sedikit bernafas lega menghadapi tantrumnya. Akan tetapi, banyak ibu di luar sana yang dianugerahi buah hati lebih dari satu seperti saya, sepertinya perlu banyak menghela nafas lebih dalam lagi. 

       Kesabaran ibu terus diuji sepanjang hari. Weekend menjadi waktu yang paling dinanti, sebab saya sendiri bisa sedikit meregangkan tubuh lebih lama lagi. Semoga kesabaran yang dijalani menjadikan seluruh ibu di masa pandemi ini semakin berbesar hati menjalaninya. Tetap semangat membersamai ya, Bu! 

       Berbekal ilmu pendidikan yang dimiliki di bangku kuliah, bukan berarti membuat saya memandang PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) selama pandemi adalah suatu hal yang mudah. Saya yang dulu sempat berstatus sebagai seorang tenaga pendidik pun, tak begitu saja memandang situasi pandemi ini situasi yang mudah untuk dihadapi semua orang. Sulit..benar-benar sulit.    

      Namun, kebiasaan mengajar dulu sedikit banyak berpengaruh saat mengajari buah hati mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Ada rasa syukur yang menggelayut, barangkali ini yang dinamai takdir tak pernah salah memilih hati. Pandemi membuat saya bisa mengeksplor kembali kebiasaan mengajar saat masih berkarier dulu. Hanya saja murid yang harus saya hadapi saat ini buah hati sendiri. Nyatanya mengajari darah daging sendiri memerlukan kesabaran yang cukup ekstra. Belum lagi kebiasaannya bernegosiasi, lumayan membuat pusing kepala. Untung saja tak membuat saya minum obat sakit kepala. 

        Ilmu parenting yang pernah saya pelajari, saat pandemi benar-benar teruji. Ilmu dari buku “Don’t be angry, Mom” karya dr. Nurul Afifah kini semakin terbukti. Saya mengutip sedikit tulisannya yang terdapat di halaman 22 yang isinya, “Marah yang tadinya merupakan salah satu sikap dasar manusia, akan berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan jika orang tua menyalurkan kemarahan dalam bentuk destruktif.” Destruktif dalam KBBI diartikan merusak, memusnahkan atau menghancurkan. 

       Ada perasaan iba, simpati dan empati yang menggelayut dalam diri. Di sisi lain saya bersyukur, jauh sebelum pandemi melanda negeri. Status pekerjaan telah berubah menjadi seorang ibu rumah tangga biasa. Namun, perasaan simpati saya berikan pada rekan-rekan guru yang hingga kini masih konsisten mengajar mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Dua jempol saya persembahkan bagi rekan-rekan guru di seluruh Indonesia. Saya mendoakan,”Semoga ilmu yang telah diajarkan semakin berkah.” 

      Pandemi tak hanya menguji seseorang dengan kariernya di luar rumah saja. Saya pun merasakan dampak situasi yang ada. Panggilan ibu terasa lebih menggema hingga ke penjuru rumah. Saya yakin para ibu lainnya akan setuju dengan pernyataan ini. Belum lagi setumpuk pekerjaan rumah tangga lainnya yang terus melambai-lambai tanpa henti kian menanti. Saya masih bisa bersyukur, ada asisten rumah tangga yang bersedia membantu walau kehadirannya tak setiap waktu. Sejauh ini kewarasan dan kesehatan mental pun masih bisa dikendalikan dengan cukup baik. 

        Namun, bagaimana nasib “ibu suri” lainnya yang sama sekali tak memiliki bantuan dari asisten rumah tangga? Sungguh kasihan, bukan? Saya berharap selama pandemi semua ibu dimana pun ia berada, baik yang berkarier di rumah maupun di luar rumah selalu diberikan kekuatan serta kesehatan lahir dan batin. Aamiin..

      Sebagai seorang ibu yang memiliki naluri yang teramat besar. Seringkali merasa kasihan saat melihat buah hati selama berada di rumah. Mereka yang seharusnya menikmati masa sekolahnya dengan bertatap muka langsung dengan guru dan teman-temannya, harus melewati masa indah itu hingga kini dan entah sampai kapan akan berakhir. Mereka seharusnya bercengkrama di sekolah, berlarian-larian di jam istirahat hingga berkeringat, untuk sementara waktu harus dilewatinya hingga waktu yang tak bisa ditentukan. 

        Mengutip Kompas.com, sebanyak 56 persen orang tua yang jadi responden mengaku kurang sabar dan jenuh menangani kemampuan dan konsentrasi anak yang duduk di bangku SD/MI dan 34 persen orang tua yang anaknya duduk di bangku SMP/MTs. Jadi, tetap bersabar dan semangat membersamai buah hati ya, Bu!

     Pandemi menjadikan seluruh ibu harus semakin kreatif. Bijak dalam mengatur banyak hal yang dibutuhkan oleh suami dan buah hati. Saya sendiri mau tak mau harus memiliki banyak sekali ide brilian di kepala, agar seluruh penghuni rumah tak merasa bosan dengan situasi yang ada. Dari urusan perut hingga urusan lainnya. Keberadaan seorang ibu benar-benar menjadi magnet dalam keluarganya. Ibu menjadi penentu suasana hati anggota keluarganya. 

     Ujian lainnya muncul pada sektor finansial. Seorang “ibu suri” biasa yang hanya mengandalkan penghasilan dari suami saja sudah pasti harus lebih cermat dan hemat mengatur pemasukan dan pengeluaran setiap bulannya. Anggota keluarga yang biasanya menghabiskan waktu di luar rumah pun, selama pandemi mau tak mau banyak menghabiskan waktunya di rumah saja. Seperti kita ketahui bersama, berada di rumah berlama-lama sering kali menjadikan perut mudah merasa kelaparan. Bersyukur bila kepala keluarga tak merasakan dampak pengurangan penghasilan yang signifikan dari tempatnya bekerja. Namun pada kenyataannya sebagian besar karyawan kantor dan perusahaan mengalami pengurangan pendapatannya. Bahkan tak sedikit yang mengalami PHK akibat pandemi. 

    Seperti yang dialami oleh seorang ibu rumah tangga asal Soreang, Bandung bernama Yustia yang saya wawancarai langsung via voice noted. Ia mengatakan, “Saya dan suami positif covid. Kami berdua harus menjalani isolasi mandiri selama 3 minggu lamanya. Sedangkan kantor tempat suami bekerja tidak memiliki fasilitas asuransi kesehatan dan fasilitas remburs kantor. Biaya pengobatan selama di karantina dari simpanan tabungan yang ada. Sedangkan suami tidak bekerja selama di karantina. Otomatis penghasilan suami di bulan berikutnya akan mengalami pemotongan yang cukup besar. Sehingga bulan depan ia hanya menerima gaji selama 1 minggu saja. Sedangkan kami tak menerima bantuan dari pemerintah dan masih memiliki balita yang setiap harinya harus diberi makan.” 

        Dari fenomena tadi bisa kita lihat bersama, betapa menjadi seorang “ibu suri” harus memiliki banyak solusi bagi keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Pandemi bukanlah suatu keadaan yang mudah untuk dilalui. Bagi segelintir orang yang kesehariannya tak memiliki pekerjaan tetap, sudah pasti pandemi sangat menyesakkannya. Bantuan dari pemerintah yang selalu digembar-gemborkan pun pada kenyataannya tak tersalurkan secara merata. 

 

     Oleh sebab itu, banyak orang harus lebih memutar otak agar keadaan finansialnya tetap stabil. Tak sedikit orang yang berjibaku dengan kesibukan lainnya di luar kegiatan utamanya sebagai seorang karyawan kantor maupun perusahaan. Pandemi benar-benar menguji seluruh lini kehidupan, terutama “ibu suri” yang terbiasa membersamai keluarga kecil di rumah saja.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement