REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menemukan sejumlah kendala dalam proses pelaksanaan tes seleksi guru Pegawai Pemerintah Perjanjian Kerja (PPPK). Seleksi tahap pertama guru PPPK sudah digelar pada Senin (13/9) lalu.
"P2G menemukan beberapa kendala selama proses seleksi," ujar Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Rabu (15/9).
Dia memaparkan, kurang optimalnya informasi yang diberikan panitia seleksi nasional (panselnas) secara daring menyebabkan banyak masalah di lapangan. Jadwal yang mundur terus, tempat lokasi tes tidak muncul, dan kepastian soal afirmasi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Menurutnya, jadwal tes yang terus mundur membuat guru honorer cemas serta menguras pikiran dan energi, padahal mereka tetap dituntut melaksanakan tugas mengajar di kelas. Kemudian, terdapat informasi keliru mengenai jadwal tes PPPK melalui tautan yang beredar masif di grup-grup pesan singkat guru honorer yang diumumkan sebelumnya.
Akses terhadap tautan sscasn.go.id juga bermasalah, termasuk situs resmi Kemendikbudristek http://gurupppk.kemdikbud.go.id/pelamar_p3k/ yang sempat beberapa waktu sebelum hari H tidak bisa diakses. Salim mengatakan, semua masalah tersebut terjadi sampai H-1 sebelum mulainya pelaksanaan tes.
"Bayangkan, bagaimana mereka enggak stres. P2G melihat ini kayaknya panselnya tidak siap banget, mestinya informasinya itu sudah firm jauh-jauh hari tidak berubah-ubah dan link website-nya siap. Ini laporan dari P2G Kabupaten Bogor, Karawang, Sidoarjo, Blitar, Aceh Timur, Bima (NTB), dan Ende (NTT)," kata dia.
Ada juga persoalan guru honorer yang sudah berhenti mengajar sejak tiga tahun lalu, tetapi anehnya namanya muncul sebagai calon peserta seleksi PPPK. Hal ini tentu berpotensi menyingkirkan guru honorer yang masih aktif mengajar.
Salim juga menerima laporan dari P2G DKI Jakarta mengenai prioritas utama dalam formasi seleksi PPPK adalah sekolah, bukan mata pelajaran. Data kebutuhan guru ini tidak berbasis kondisi di lapangan.
Misalnya, formasi yang dibuka adalah mata pelajaran geografi untuk dua orang, sedangkan kebutuhannya hanya satu orang. Menurut Salim, hal ini akan membuat calon peserta yang memiliki kompetensi keahlian, bidang studi, dan sertifikasinya bukan geografi, tetap memaksakan diri mengikuti seleksi PPPK.
Selain itu, Kemdikbudristek hanya memberikan afirmasi 15 persen bagi guru berusia di atas 35 tahun dan mengabdi minimal tiga tahun. P2G memandang, kebijakan ini tidak berkeadilan karena sisanya pemerintah memukul rata guru honorer, padahal ada guru yang mengabdi belasan tahun bahkan di atas 20 tahun.
Sulitnya soal tes guru PPPK juga menjadi hal yang dirasakan mayoritas peserta seleksi. Mereka melaporkan soal ujiannya jauh dari materi yang diberikan ketika bimbingan belajar atau latihan soal yang diberikan Kemdikbudristek.
Di samping itu, P2G pun telah memprediksi sejak awal, jika tingginya passing grade guru PPPK akan membuat mayoritas guru tidak lolos tes. Beberapa passing grade untuk mata pelajaran tertentu juga dipatok cukup tinggi.
"Passing grade PPPK untuk kompetensi teknis, mengharuskan peserta memenuhi skor minimal sampai 65 persen. Ambang batasnya justru lebih tinggi, apalagi ini yang ikut tes kebanyakan -maaf- guru-guru tua, beda dengan CPNS yang berusia di bawah 35 tahun," tutur Salim.