REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Moderna Inc telah merilis serangkaian data yang menunjukkan bahwa vaksin Covid-19 produksinya efektif dalam mencegah masalah kesehatan yang serius atau kematian dari "varian yang menjadi perhatian" (variant of concern). Namun, perusahaan mengakui bahwa kemanjuran vaksin menurun seiring waktu.
Data ini menunjukkan bahwa mereka yang menerima vaksin Moderna pada tahun lalu dua kali lipat lebih mungkin untuk terkena kasus terobosan (breakthrough infection) Covid-19, dilansir Fox News, Jumat (17/9). Kasus terobosan terjadi ketika SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, mampu menginfeksi orang yang sistem kekebalan tubuhnya dibangun oleh vaksin.
Menurut data yang dirilis Moderna pada Rabu (15/9), sebuah penelitian menunjukkan risiko infeksi terobosan lebih rendah pada peserta yang belakangan ini divaksinasi (rata-rata delapan bulan setelah dosis pertama). Itu jika dibandingkan dengan peserta yang divaksinasi pada tahun lalu (median 13 bulan setelah dosis pertama).
Uji coba Moderna yang dilakukan selama musim panas, yakni Studi COVE Fase 3, mengungkapkan bahwa 88 kasus terobosan Covid-19 terjadi pada kelompok yang baru saja divaksinasi (49,0 kasus per 1000 orang-tahun). Sementara itu, ada 162 kasus pada kelompok yang divaksinasi tahun lalu (77,1 kasus per 1.000 orang-tahun).
Di kedua kelompok, Moderna menyoroti bahwa hanya 19 kasus parah yang diamati. Sementara itu, ada tren numerik menuju tingkat kasus parah yang lebih rendah pada kelompok yang divaksinasi baru-baru ini. Moderna bersikeras bahwa jumlah kasus cukup rendah sehingga trennya tidak signifikan.
Penelitian Moderna menemukan bahwa mereka yang divaksinasi lebih awal 50 persen lebih banyak terkena kasus terobosan bergejala selama bulan Juli hingga Agustus dibandingkan dengan mereka yang menerima vaksinasi belakangan. Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan berbarengan dengan data tersebut, CEO Moderna Stéphane Bancel meyakinkan bahwa data itu mendukung kebutuhan akan booster.