REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*
Akhir karier 57 pegawai KPK di lembaga antikorupsi yang selama ini disegani – setidaknya sampai UU KPK direvisi DPR – semakin dekat. Ketua KPK Firli Bahuri telah menandatangani surat pemecatan Novel Baswedan dkk yang harus angkat kaki dari Gedung Merah Putih paling telat pada 30 September 2021.
“Kami berupaya memberantas korupsi, tapi kami yang diberantas,” begitu kata Novel, setelah dia dan puluhan pegawai lain yang dipecat mendapatkan surat pemberitahuan dari pimpinan pekan lalu.
Kalimat satir yang keluar dari mulut Novel itu menggambarkan betapa ironisnya ujung karier Novel dan penyidik-penyidik top lainnya di KPK yang selama belasan tahun mengabdi, lantas terpaksa dipecat begitu saja dengan dalih pimpinan yang dipimpin Firli, “menjalani amanat undang-undang.”
Undang-undang yang dirujuk Firli cs adalah UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, hasil revisi yang dulu menuai kontroversi. Salah satu pasal dalam UU tersebut mengamanatkan bahwa pegawai KPK harus dialihstatuskan menjadi ASN paling lambat 2 tahun setelah UU KPK berlaku. Alih-alih langsung mengalihstatuskan seribuan pegawai KPK menjadi ASN, amanat UU KPK kemudian digocek menjadi sarana skrining sekaligus penyaringan pegawai lewat tes wawasan kebangsaan (TWK) dengan dasar Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021.
Bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan instansi terkait hingga Badan Intelijen Negara (BIN), KPK lalu menggelar TWK terhadap 1.351 pegawai KPK. Hasilnya, sebanyak 1,274 orang dinyatakan memenuhi syarat dan 75 orang dinilai tidak memenuhi syarat alias tidak lulus tes untuk bisa menjadi ASN.
Baca juga : Diperiksa KPK, Anies: Saya Akan Sampaikan Semua
Terungkapnya 75 pegawai yang tidak lulus TWK sempat menghebohkan publik lantaran soal-soal yang ditanyakan oleh pihak asesor dinilai tidak masuk akal, kalau tidak boleh dibilang menjebak. “Suka nonton film porno?”; “Pilih Alquran atau Pancasila?”; “Mengapa Belum Menikah? Apakah Masih Punya Hasrat?”; “Apa Pendapatnya Tentang Free Sex?”, diduga menjadi di antara pertanyaan-pertanyaan aneh TWK yang tidak nyambung dengan upaya pemberantasan korupsi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Mei lalu sampai bersuara guna meredam polemik TWK KPK. Ia meminta TWK tidak dijadikan dasar pemecatan pegawai KPK.
Namun, permintaan Jokowi itu sebatas digubris oleh pimpinan lembaga terkait dengan menggelar rapat dan mengurangi jumlah dari 75 menjadi 57 orang yang akan dipecat. Ada yang dianggap masih bisa dibina, sementara Novel dan beberapa penyidik top termasuk sang ‘Raja OTT’ Harun Al Rasyid, tetap dicap berapor merah.
Dalam perjalanannya sebelum dan sesudah permintaan Jokowi itu, sebagian kalangan termasuk pegawai KPK yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konsitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Selain itu, langkah nonyuridis juga ditempuh, dengan melaporkan TWK KPK ke Komnas HAM dan Ombudsman RI.
Komnas HAM, berdasarkan hasil penyelidikan mereka berkesimpulan bahwa TWK KPK melanggar hak-hak asasi pegawai KPK yang tidak lulus tes. Senada dengan Komnas HAM, Ombudsman RI menyatakan, TWK KPK sarat malaadministrasi dan meminta adanya koreksi.
Adapun, di MK dan MA lewat putusan terpisah pada 31 Agustus dan 9 September memutuskan, bahwa TWK KPK konstitusional dan sah secara hukum. Namun, kedua lembaga hukum itu menegaskan bahwa alih status ASN pegawai KPK adalah kewenangan pemerintah.
Pimpinan KPK enggan menindaklanjuti kesimpulan Komnas HAM dan Ombudsman dan hanya mengacu pada putusan MK dan MA. Tak lama setelah dua lembaga hukum mengetok putusan, Firli cs menerbitkan surat keputusan pemberhentian secara hormat terhadap 57 pegawai KPK.
Pihak Komnas HAM dan Ombudsman RI pun telah mengirimkan surat rekomendasi kepada Jokowi dan belum mendapatkan respons. Kedua lembaga itu – sama seperti pegawai KPK yang dipecat – masih berharap Jokowi akan mengambil keputusan menganulir keputusan pimpinan KPK sebelum 30 September. Dasarnya, pertimbangan putusan MK dan MA menegaskan, bahwa urusan alih status aparatur negara adalah sepenuhnya berada di pemerintah/eksekutif, di mana Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi.
Baca juga : Brigjen Junior Jelaskan Alasan Berani Kirim Surat ke Kapolri
Namun, berbeda dengan Mei lalu, Jokowi kini sepertinya akan bergeming. Dalam pertemuan informalnya dengan Forum Pemred belum lama ini, Jokowi sudah menyatakan, “Jangan apa-apa ditarik ke Presiden.”
Respons Jokowi itu seperti sinyal, bahwa Jokowi akan ‘lepas tangan’ soal masalah TWK KPK. Padahal, sebagai kepala pemerintahan, Jokowi adalah satu-satunya pemegang kewenangan tertinggi yang bisa menganulir keputusan pemecatan puluhan pegawai KPK yang saat ini lembaga itu adalah bagian dari pemerintah, meski berada pada rumpun yudikatif.
Apakah Jokowi tidak ingat bahwa muara kekisruhan, polemik, masalah KPK pada masa sekarang adalah manifestasi UU KPK yang sukses direvisi oleh DPR pada 2019 lalu. Saat itu, UU KPK tidak mungkin bisa direvisi seandainya Jokowi tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres) yang kemudian seperti menjadi kunci pembuka kotak pandora.
Jika dibandingkan dengan presiden sebelum Jokowi, Susilo Bambang Yudhyono (SBY) tidak pernah mau menerbitkan Surpres demi menuruti inisiatif DPR yang berkali-kali berusaha merevisi UU KPK. Meski setelah UU KPK versi revisi disahkan DPR, Jokowi menolak untuk menandatangani lembaran negara dengan alasan pasal-pasal yang direvisi tidak sesuai keinginan pemerintah, nasi telah menjadi bubur, UU 19/2019 tetap berlaku.
Satu per satu efek domino akibat revisi UU KPK pun terus berlangsung hingga kini. Jika Jokowi pada akhirnya nanti benar-benar tidak mau mengambil keputusan menganulir pemecatan Novel dkk, jangan salahkan siapa-siapa jika Jokowi tercitrakan sebagai Presiden pewaris KPK zaman now, KPK yang kerap menjadi sorotan publik dan media akibat kontroversi bukan karena prestasi memberantas korupsi.
*penulis adalah jurnalis Republika.