REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang mengabulkan seluruh gugatan dua wakil rektor (warek) UIN Jakarta. Dua warek tersebut sebelumnya diberhentikan secara sepihak tanpa alasan yang jelas.
Gugatan dikabulkan oleh PTUN Serang atas nama dua mantan warek UIN Jakarta yakni Prof Dr Andi Faisal Bakti dan Prof Dr Masri Mansoer (mantan Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) terhadap Rektor Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Amany Lubis. PTUN Serang Mewajibkan Rektor UIN Jakarta Amany Lubis untuk mencabut SK pemberhentian dan mewajibkan untuk merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan sebagai wakil rektor.
Majelis Hakim PTUN Serang dalam Putusannya Nomor 31/G/2021/PTUN.SRG dan Nomor 32/G/2021/PTUN.SRG menyatakan batal atau tidak sah masing-masing Surat Keputusan pemberhentian tersebut serta memerintahkan kepada Prof Amany selaku Tergugat untuk mencabutnya. Selain itu, Tergugat juga diwajibkan untuk merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan Penggugat sebagai Wakil Rektor.
Ketua Tim Kuasa Hukum Penggugat Mujahid A Latief mengatakan, dengan dibatalkannya Surat Keputusan pemberhentian dua warek tersebut dari jabatannya sebagai Wakil Rektor, maka SK pemberhentian tersebut tidak lagi memiliki akibat hukum dan tidak ada pilihan lain bagi Rektor UIN Jakarta selain mencabutnya.
"Kami berharap Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pendidik dan pimpinan PTKIN terbesar di Indonesia memberikan contoh yang baik dengan menaati perintah pengadilan, dalam hal ini dengan segera melaksanakan Putusan PTUN Serang,” kata Mujahid dalam rilis yang diterima Republika, Selasa (21/9).
Menurut Mujahid, dikabulkannya gugatan tersebut karena pihaknya berhasil membuktikan sejumlah dalil dalam gugatannya, antara lain Surat Keputusan pemberhentian Prof Andi dan Prof Masri bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Mujahid menegaskan, putusan tersebut sebagai warning kepada pejabat publik atau pimpinan suatu lembaga agar tidak sewenang-wenang menyalahgunakan wewenang yang hanya karena kebencian atau ketidaksukaannya memecat atau memberhentikan seseorang dari suatu jabatan.
“Negara kita adalah negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) konstitusi kita, jadi kita punya aturan main dalam bernegara, sehingga tidak boleh karena jabatan atau kekuasaannya seseorang berbuat sewenang-wenang, semua harus sesuai prosedur dan hukum ‘due process of law," kata Mujahid.
Sebagaumana diketahui, perkara antara Prof Andi dan Prof Masri melawan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini bermula saat keduanya diberhentikan masing-masing dari jabatannya oleh Prof Amany selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof Andi diberhentikan dari jabatan Wakil Rektor Bidang Kerjasama sementara Prof Masri diberhentikan dari jabatan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan.
Pemberhentian terhadap Prof Masri dan Prof Andi diduga karena terkait dengan pembangunan asrama mahasiswa. Di mana berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh UIN Watch dalam pembangunan asrama tersebut terdapat dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan.
Pasalnya, asrama yang dibangun bukan merupakan asrama mahasiswa UIN Jakarta. Namun, asrama salah satu organisasi ekstra yang kemudian ditulis dan diajukan dengan proposal permohonan bantuan untuk pembangunan gedung Asrama Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Oleh karena itu, UIN Watch kemudian melaporkannya ke polisi (Polda Merto Jaya). Dalam laporan ini pelapor mencantumkan nama Prof Andi dan Prof Masri sebagai saksi. Untuk diketahui pencantuman nama Prof Andi dan Prof Masri tanpa konfirmasi atau sepengetahuan keduanya.
Lebih lanjut, kasus pembagunan asrama mahasiswa tersebut semakin ramai, di mana sebanyak 22 dosen mengirimkan surat permintaan klarifikasi ke Menteri Agama, tapi tidak ada tanggapan. Selain itu sebanyak 126 dosen mengirimkan surat ke Senat untuk meminta agar kasus tersebut diverifikasi dan dibentuk Mahkamah Etik (ME) untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi sampai saat ini tidak ada dibentuk ME dimaksud. Sebagai catatan, baik Prof Andi maupun Prof Masri tidak terlibat di dalamnya.
Namun demikian, Prof Andi dan Prof Masri dituduh menjadi bagian dari pelaporan dan "keramaian" tersebut. Sehingga, keduanya kemudian diberhentikan tanpa melalui prosedur yang sah/benar.
Adapun alasan pemberhentian sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Rektor bernomor 167 dan 168 tahun 2021 yang ditandatangani tanggal 18 Februari 2021 adalah karena sudah dianggap tidak dapat bekerja sama lagi dalam tugas kedinasan.
Tidak terima dengan dengan pemberhentian tersebut Prof Andi dan Prof Masri melalui kuasa hukumnya yang dipimpin oleh Mujahid A. Latief menempuh sejumlah jalur hukum. Mulai dari mengajukan surat keberatan, banding administratif kepada Menteri Agama RI, hingga mengajukan gugatan ke PTUN Serang pada tanggal 10 Mei 2021.