Rabu 22 Sep 2021 12:38 WIB

Modal Inti Bank Syariah

Ada beberapa alternatif untuk meningkatkan modal bank syariah.

Pegawai melayani nasabah di Kantor Cabang Digital Bank Syariah Indonesia (BSI) Thamrin, Jakarta. (foto ilustrasi)
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Pegawai melayani nasabah di Kantor Cabang Digital Bank Syariah Indonesia (BSI) Thamrin, Jakarta. (foto ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Hakam Naja,  Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran. Sedang meneliti tentang Perbankan Syariah Indonesia - Malaysia

Otoritas Jasa Keuangan memberikan kado istimewa di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 76 dengan mengumumkan dua beleid bidang perbankan. Peraturan OJK yang mengatur tentang Bank Umum dan Penyelenggaraan Produk Bank Umum cukup memberikan efek kejut terhadap dunia perbankan.

Persaingan ketat perbankan di level nasional dan global mendorong regulator untuk menata kelembagaan dan produk perbankan bisa tetap relevan, inovatif dan mengikuti perkembangan teknologi yang makin pesat. Hal ini menjadikan transformasi digital merupakan keniscayaan dalam menghasilkan produk perbankan yang mengikuti tuntutan zaman. Investasi yang tidak murah di bidang teknologi digital dan pentingnya menjaga terhadap risiko yang setiap saat dihadapi oleh bank, memerlukan dukungan modal yang memadai.

Hal-hal terkait kelembagaan, pengaturan proses bisnis termasuk layanan digital dan pendirian bank digital antara lain yang dicakup dalam Peraturan OJK No. 12 /POJK.03/2021 tentang Bank Umum. Sementara POJK No. 13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum berupaya memperkuat aspek perizinan dan penyelenggaraan produk bank dari sebelumnya merujuk pada modal inti (capital-based approval) menjadi pendekatan berbasis risiko (risk-based approval).

Modal itu penting, tetapi jangan sampai menghambat bank melakukan inovasi dan mengabaikan risiko. Lebih lanjut POJK tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum memberikan kelonggaran pada Bank untuk mengeluarkan produk perbankan tanpa birokrasi yang berbelit, bahkan untuk produk pengembangan tanpa perlu ijin OJK, cukup dengan uji coba internal. Bank sendiri yang mesti menghitung tingkat risiko yang dihadapi sesuai aturan ketika akan meningkatkan usaha, seperti membuka cabang di dalam maupun luar negeri serta meluncurkan suatu produk layanan.

BUKU dan KBMI

Bank selama ini dikelompokkan ke dalam kategori BUKU yaitu Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha. OJK menerapkan ketentuan ini berdasarkan POJK Nomor 6/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank yang merupakan penyempurnaan Peraturan Bank Indonesia No. 14/26/PBI/2012. Lebih rinci, aturan tersebut menyebutkan BUKU I merupakan bank dengan modal inti sampai Rp 1 triliun. BUKU II yaitu bank dengan modal inti lebih dari Rp 1 triliun sampai Rp 5 triliun. BUKU III adalah bank dengan modal inti lebih dari Rp 5 triliun sampai Rp 30 triliun. Sedangkan BUKU IV ditempati oleh bank dengan modal inti lebih dari Rp 30 triliun.

OJK mengubah kategori BUKU dengan metode pengelompokan bank yang didasarkan pada modal inti yang dimiliki bank atau disebut Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI) berdasarkan POJK tentang Bank Umum. Bank dikelompokkan menjadi empat KBMI sama seperti BUKU, namun untuk besaran modal inti tiap kelasnya berbeda. KBMI 1 adalah bank dengan modal inti sampai Rp 6 triliun. KBMI 2: modal inti lebih dari Rp 6 triliun sampai Rp 14 triliun. KBMI 3: modal inti lebih dari Rp 14 triliun sampai Rp 70 triliun. Selanjutnya KBMI 4: modal inti lebih dari Rp 70 triliun.

Hanya 4 bank yang bertengger di posisi atas KBMI 4 merujuk laporan keuangan kuartal II 2021, yaitu Bank Rakyat Indonesia dengan modal inti Rp 197 triliun. Bank Mandiri punya modal inti Rp 189 triliun. Selanjutnya modal inti Bank Central Asia sejumlah Rp 187 triliun dan Bank Negara Indonesia sebesar Rp 116 triliun.

Pengelompokan KBMI merupakan upaya OJK untuk keperluan internal dengan mengkategorikan bank dalam klaster untuk kepentingan pengawasan dan statistik serta tidak terlalu berpengaruh pada operasional bank. Perubahan tersebut akan membuat kegiatan usaha di bank tak lagi dibatasi modal. KBMI tak lagi terkait dengan produk dan kegiatan bank, maka aktivitas bank tidak berkurang dan dibatasi dengan pengelompokan ini. Sebenarnya banyak bank kecil yang memiliki manajemen risiko bagus, tetapi tidak bisa berkembang karena terbentur aturan permodalan ketika diberlakukan aturan BUKU. Bank-bank kecil tersebut tidak bisa mengeluarkan produk baru dan terhambat untuk menjadi bank besar karena aturan permodalan tersebut. Kategori KBMI ini juga akan mendorong bank melayani nasabah lebih leluasa sesuai dengan manajemen risiko dan lebih mengedepankan inovasi.

Modal Inti

Modal inti seperti tercantum dalam Peraturan OJK No. 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah terdiri atas modal inti utama (common equity tier 1) yang mencakup modal disetor, cadangan tambahan modal (disclosed reserve) dan modal inti tambahan (additional tier 1). Secara teknis, modal inti merupakan modal bank yang terdiri dari modal disetor, modal sumbangan, cadangan yang dibentuk dari laba setelah pajak dan laba yang diperoleh setelah pajak.

Modal inti 12 bank umum Syariah berdasarkan laporan keuangan Juni dan Juli 2021: Bank Syariah Indonesia Rp 23,6 triliun. Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah Rp 6,5 triliun. Bank Muamalat Rp 3,9 triliun. Bank Panin Dubai Syariah Rp 3.1 triliun. Bank Central Asia Syariah Rp 2,7 triliun. Bank Aceh Syariah Rp 2,3 triliun. Bank Mega Syariah Rp 2 triliun. Selanjutnya Bank Nusa Tenggara Barat Syariah Rp 1,3 triliun. Bank Jabar Banten Syariah Rp 1,2 triliun. Bank Aladin Syariah Rp 1,1 triliun. Bank Bukopin Syariah Rp 886,3 miliar dan Bank Victoria Syariah Rp 364,7 miliar.

Hanya BSI yang berada di KBMI 3, selanjutnya BTPN Syariah di KBMI 2 dan 10 bank umum Syariah lainnya berada pada KBMI 1. Dengan modal inti yang relatif cekak, perbankan syariah di tanah air akan sulit bergerak untuk bisa berperan mendongkrak pangsa pasar yang masih minim sebesar 6,51% dari perbankan nasional per Desember 2020. Apalagi kalau diajak bersaing dengan perbankan Syariah di kawasan ASEAN maupun global.

Bank Syariah terbesar di dunia 2020 merujuk data The Asia Banker (7/9-2021) adalah Al-Rajhi Bank Saudi Arabia dengan modal inti Rp 224 triliun (Maret 2021). Hanya 2 bank Syariah di luar kawasan Timur Tengah yang masuk 10 besar bank Syariah terbesar di dunia, yaitu Maybank Islamic Malaysia yang menempati posisi 4 dengan modal inti sebesar Rp 42,9 triliun dan CIMB Islamic Bank Malaysia di nomor 10 dengan modal inti Rp 25,3 triliun (Juni 2021). BSI dengan aset Rp 240 triliun pada saat merger, menjadi bank ranking 19 tingkat global.

Bank wajib memenuhi modal inti minimum Rp 3 triliun secara bertahap berdasarkan POJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum. Paling lambat 31 Desember 2021 bank harus memiliki modal inti minimum Rp 2 triliun dan Rp 3 triliun pada 31 Desember 2022. Bank Pembangunan Daerah (BPD) dalam hal ini Bank Jabar Banten Syariah, Bank Aceh Syariah dan Bank NTB Syariah diberi kelonggaran hingga tahun 2024. Sementara itu, masih ada 3 bank umum Syariah yang belum memenuhi modal inti kurang dari Rp 2 triliun per Juli 2021.

Peningkatan modal bank penting untuk melakukan pengembangan bisnis, bantalan dalam menyerap kerugian tak terduga dan sebagai jaring pengaman saat kondisi krisis. Kualitas dan kuantitas permodalan Bank menjadi titik krusial merujuk pada rentetan krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di banyak negara beberapa dekade terakhir. Kegagalan Bank antara lain, karena modal yang tidak memadai untuk mengantisipasi risiko yang dihadapi. Dalam hal ini, modal berperan sebagai penyangga untuk menyerap kerugian yang muncul dari berbagai risiko antara lain risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas dan risiko lainnya seperti yang ditunjukkan dalam penelitian Conlon et al (2020), Noor et al (2018) dan Abdullah et al (2016).

Pilihan Strategi

Ada beberapa alternatif untuk meningkatkan modal bank syariah, antara lain diperoleh dari laba ditahan dan setoran modal baru dari pemegang saham. Rights issue atau hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) yaitu penerbitan saham baru yang diprioritaskan untuk pemegang saham lama. Suntikan modal dari investor dalam maupun luar negeri melalui divestasi. Penerbitan obligasi sub ordinasi (subdebt bond). Penjualan saham melalui bursa dengan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) dan integrasi atau merger dengan bank lain.

Jumlah bank di Indonesia yang masih cukup besar yaitu 107 buah per Juni 2021 mendorong OJK mengatur upaya konsolidasi perbankan. Maka, investor mendapatkan insentif dengan membeli bank kecil atau merger antar bank daripada mendirikan bank baru yang mesti langsung menyediakan modal inti sebesar Rp 10 triliun seperti yang diatur dalam POJK tentang Bank Umum.

Strategi lain yang bisa ditempuh yaitu, melalui kemitraan strategis antara lain membentuk Kelompok Usaha Bank (KUB) yang diatur dalam POJK tentang Konsolidasi Bank Umum. KUB adalah Bank yang berada dalam satu kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau Pengendalian yang terdiri dari 2 (dua) Bank atau lebih. Sistem KUB merupakan peluang yang bisa dimanfaatkan oleh beberapa bank kecil. Sistem ini memperbolehkan bank kecil untuk tetap mempunyai modal inti di bawah Rp 3 triliun, tetapi tanggung jawab penuh berada pada induk usahanya, baik likuiditas maupun solvabilitasnya. Dengan menjadi bagian dari KUB, maka modal inti bank selain perusahaan induk atau pelaksana perusahaan induk cukup memenuhi syarat modal inti Rp 1 triliun saja.

Persaingan perbankan yang semakin kompetitif dan realitas modal inti yang masih minim, maka pilihan bagi bank umum Syariah untuk menjadi bank digital atau memperkuat layanan digital merupakan opsi yang rasional, meski perlu investasi relatif besar. Maka mesti dilakukan pengembangan teknologi digital yang handal dengan sumberdaya manusia profesional, memilih ceruk pasar yang tepat untuk menggali potensi pasar yang amat besar yaitu ekosistem ekonomi

Syariah Indonesia dengan lebih dari 200 juta penduduk beragama Islam. Selamat datang di era disrupsi, persaingan yang akan dimenangkan oleh pemain inovatif, ulet dan Amanah.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement