REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.
Aproach kebanyakan peminat sejarah tentang sejarah adalah silsilah. Garis silsilah horisontal dalam hal ukuran panjang jauh lebih panjang dari garis vertikal. Umumnya silsilah tidak menggunakan time frame.
Kerajaan fiktif Tarumanagara yang kata Purbotjaroko M berdiri pada abad ke IV M tapi bubar tak diketahui, lalu dianggap saja bubarnya dalam time frame yang sama dengan berdirinya kerajaan fiktif Sriwijaya yang ditebak beridri pada abad ke-VII M. Tarumanagara melanjut jadi kerajaan Sunda Pakuan.
Maka silsilah kemudian disusun. Kalau lama time frame 400 tahun, maka dibagi 20 tahun sebagai rata2 ranji/lapis/level silsilah kita dapatkan 20 ranji. Tak terbayang berapa lebar garis horisontal pada ranji ke-20. Tak ada kelebaran kertas yang cukup untuk menampung silsilah kecuali ditulis di atas pasir tepi pantai.
Rujukan lain dalam menentukan keberadaan kerajaan prasasti. Seolah tiap orang bikin kerajaan mesti pasang prasasti. Sejak jaman Hammurabi XVIII SM masang prasasti sebagai cara pemberlakuan hukum. Code Hammurabi dianggap berlaku setelah 17 tablet yang berisi code dipasang di berbagai bukit Persia utara dan mereka yang berada di wilayah hukum Babylon dianggap sudah mengetahuinya.
Prasasti Kedukan Bukit di Palembang bukan maklumat berdirinya kerajaan Sriwijaya tetapi teori kaum monotheis Saba tentang kosmologi The Space atau Sriwijaya. Begitu pun prasasti Ciaruteun Bogor bukan tentang berdirinya kerajaan Tarumanagara abad IV M. Teks prasasti yang dengan amat kacau diterjemah Prof Dr Purbo Tjaroko: Srimatah Purnawarmanah Tarun-a-naga. Baginda Purnawarman Taruna Naga.
Prasasti Ciaruteun sebuah ODA yang dibuat migran Khmer untuk raja mrk Purnawarman yang wafat waktu Ciyam Coda medio XIII M.
Prof Purbo menarjamah, Purnawarman raja Tarumanagara.
Cukup banyak peminat kerajaan, bahkan raja orang pun diaku-aku. Waktu sidang BPUPKI 1945 ada 6 anggota dari total 69 yang akur Indonesia jadi kerajaan.
Pas heboh mau ada SI MPR dengan agenda ubah lagi UUD 45, hati saya dungjeng-dungjeng. Jangan-jangan Indonesia mau jadi kerajaan. Tau-tau heboh itu kempes lagi. Kalau lagi bokek jangan kebanyakan lagu-lah?