REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk memperbaiki pendataan kasus Covid-19 di lingkungan sekolah, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan menggunakan aplikasi PeduliLindungi. Aplikasi tersebut akan digunakan setelah melihat adanya mispersepsi dari pendataan yang Kemendikbudristek lakukan sebelumnya.
"Kemendikbudristek dan Kemenkes sedang melakukan uji coba sistem pendataan baru dengan applikasi PeduliLindungi. Itulah aplikasi tunggal yang akan kita pakai untuk pendataan," ungkap Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek, Jumeri, pada konferensi pers, Jumat (24/9).
Penggunaan PeduliLindungi dilakukan karena melihat adanya empat mispersepsi yang terjadi akibat pendataan yang dilakukan Kemendikbudristek sebelumnya. Data-data tersebut, kata Jumeri, membuat mispersepsi karena adanya keterbatasan akurasi dari laporan yang dimasukkan oleh satuan-satuan pendidikan yang menjadi responden.
"Kita tahu dari validitas laporan itu kalo kami melakukan klarifikasi ke lapangan tentu tak mungkin, seperti 45.000 sekolah kami cek satu persatu tentu sangat berat," jelas Jumeri.
Kemendikbudristek telah mengklarifikasi data klaster Covid-19 di sekolah yang beredar di masyarakat. Dikatakan, data-data tersebut bukan merupakan data klaster Covid-19 yang terjadi akibat pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di sekolah, melainkan data warga sekolah yang sedang atau pernah terkena Covid-19 secara umum.
"Jadi itu 2,8 persen adalah bukan data klaster pendidikan. Tetapi itu adalah data yang menunjukkan satuan pendidikan yang melaporkan lewat aplikasi kita, lewat laman kita, bahwa di sekolahnya ada warga yang tertular Covid 19," ujar Jumeri.
Dia menjelaskan, data itu didapatkan dari pendataan Kemendikbudristek mengenai ada atau tidaknya warga sekolah yang terkena Covid-19. Dari sekitar 46.500 sekolah yang menjadi responden, 2,8 persennya menjawab warga sekolahnya ada yang pernah terkena Covid-19, baik itu siswa, guru, maupun tenaga kependidikannya dan belum tentu penularan terjadi di sekolah.
"Ada lebih dari 97 persen sekolah itu tidak tercemar. Tidak ada warga yang pernah tertular Covid-19. Ini hal pertama yang perlu kita pahami bersama. Jadi sekali lagi, 2,8 persen adalah sekolah-sekolah yang melaporkan warganya ada yang (pernah atau sedang) tertular Covid-19," kata Jumeri.
Selain itu, dia juga menyatakan, data warga sekolah yang terjangkit Covid-19 tersebut bukan berasal dari sekolah yang menggelar PTM terbatas saja. Menurut Jumeri, sekolah-sekolah yang tidak melakukan PTM terbatas pun mengisi pendataan yang dilakukan oleh Kemendikbudristek.
"Satuan pendidikan tersebut adalah yang sudah PTM maupun yang belum PTM. Jadi ini kita punya banyak sekolah, yang melapor itu 46.500, baik dia melapor bahwa sudah PTM maupun melapor belum PTM," ungkap Jumeri.
Kemudian, Jumeri menekankan, data tersebut merupakan data akumulasi yang dikumpulkan sejak Juli 2020 hingga September 2021 ini. Karena itu dia menegaskan data tersebut bukan data baru yang dikumpulkan sejak pemberlakuan PTM terbatas pada PPKM Darurat Level I-III beberapa bulan lalu.
"Itu adalah akumulasi sejak bulan Juli 2020 atau tahun ajaran 2020/2021 sampai tahun ajaran 2021/2022 bulan September ini. Jadi itu kira-kira masa 14 bulan dari perjalanan pembelajaran di Indonesia ini baik yang PTM maupun yang belum PTM," terang dia.
Data jumlah pendidik, tenaga pendidik, dan siswa yang pernah terkena Covid-19 itu juga ia sebut tidak sepenuhnya benar. Sebab, data tersebut belum diverifikasi lebih lanjut dan masih ditemukan banyak kesalahan dalam pengisian data yang dilakukan oleh satuan-satuan pendidikan yang menjadi responden.
"Seperti laporan jumlah guru yang positif itu melebihi jumlah guru yang ada di sekolah itu. Itu kan tidak mungkin. Jadi gurunya hanya delapan, melaporkan ada penularan 16-15. Itu masih terjadi di data itu," jelas Jumeri.