Oleh : Zulfan Tadjoeddin, Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University, Australia
REPUBLIKA.CO.ID -- Sudah jelas Anies Baswedan adalah kandidat presiden yang cukup serius untuk 2024. Pengusungnya adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Bahkan ketika pemilihan Presiden RI masih akan lama digelar, Presiden PKS, Ahmad Syaikhu, sudah menyebut pasangan Anies-Sandiaga Uno adalah sebuah keniscayaan pada Pilpres 2024. Politisi senior PKS, Hidayat Nurwahid juga paling sering membela Anies tatkala Gubernur DKI itu menghadapi serangan politik.
Syaikhu sendiri mengakui, PKS ingin mengulang sukses Pilkada DKI 2017 untuk tingkat nasional. Kala itu, Anies-Sandiaga menjadi representasi Islam politik yang mampu memenangkan sebuah kontestasi politik yang cukup bergengsi di Indonesia.
Politik Indonesia tidak mengikuti friksi antara kelompok kiri-tengah dan kanan-tengah yang lazim di negara-negara demokratis. Sejak 2014, republik terbelah menjadi dua kubu: nasionalis-inklusif dan Islamis-transnasionalis. Untuk sementara kubu nasionalis menjadi pemenang dengan Joko Widodo sebagai presiden dan PDIP sebagai ruling party.
PKS adalah representasi terbaik dari kubu Islamis-transnasionalis. Mereka lazim pula disebut sebagai “Islam politik” yang bisa diartikan sebagai kelompok yang menjadikan Islam sebagai sumber identitas dan aksi-aksi politiknya.
Di kalangan umat Islam, pendukungnya cenderung mengidamkan homogenitas, cenderung eksklusif dan sektarian. Sebaliknya, kalangan Muslim yang meyakini dan menerima keberagaman akan cenderung bergabung ke kubu nasionalis.
Baca juga : Desain Airlangga Menuju Pilpres: Rangkul PKB, Incar Ganjar
Sebagai oposisi, PKS tidak sendirian. Ada Partai Demokrat yang mengaku beraliran nasionalis-religius yang menemani PKS di luar pemerintahan. Walau sama-sama oposisi, terdapat perbedaan yang mencolok antara PKS dan Demokrat.
Identitas dan ideologi PKS sangat jelas. Partai inipun lebih solid. Mereka sering membuat framing bahwa lawan politiknya, Joko Widodo, sebagai sosok yang tidak Islami dan tidak memihak kepada Islam.
Di sisi lain, posisi Demokrat sebagai oposisi lebih pada sebuah kecelakaan. Mereka tertolak untuk bergabung ke kubu nasionalis yang secara ideologi sejatinya lebih dekat dengan partai itu. Penolakan ini tidak bisa dilepaskan dari ketidak-harmonisan hubungan antara Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, dan tokoh sentral Partai Demokrat, SBY. Sehingga tidak ada pilihan lain, harus menjadi oposisi. Hal ini mendekatkan Demokrat dengan PKS.
oOo
Joko Widodo selalu digoyang oleh Islam politik. Demokrat berada dalam barisan ini. Dalam konteks ini, terpelesetnya lidah Basuki Tjahaja Purnama (BTP) di Kepulauan Seribu di bulan September 2016 telah menyediakan tunggangan bagi kekuatan Islam politik untuk menggoyang Jokowi.
Sudah lazim dipahami bahwa BTP yang menjadi fokus dari aksi 411 dan 212 di penghujung tahun 2016 hanyalah merupakan sasaran antara, sasaran utamanya adalah Jokowi. Saat itu, elemen di lingkaran dalam istana sudah bersiap-siap menyambut muntahan bola sendainya presiden bisa dilengserkan.
Selama periode pertama Jokowi, Islam politik secara konsisten bekerja menggergaji dukungan terhadapnya di kalangan pemilih Muslim. Sehingga, dalam konteks ini, dipilihnya Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden di 2019 lebih menjadi sebuah strategi politik pragmatis-elektoral sebagai upaya untuk menahan laju penggergajian yang dilakukan oleh kelompok Islam politik dalam menggerus basis pemilih Jokowi dari kalangan umat Islam.
Saat itu peran Ma’ruf Amin bukanlah sebagai pengumpul suara. Sekali lagi, perannya adalah menahan laju penggergajian supaya Jokowi tidak kalah di Pilpres 2019. Dengan perolehan suara 55% di Pilpres 2019, performa Jokowi-Ma’ruf di 2019 tidak bisa dikatakan cemerlang karena Jokowi adalah petahana dengan capaian pembangunan sosial-ekonomi jauh lebih signifikan dibanding dua periode pemerintahan SBY. Penyebabnya adalah Islam politik.
Islam politik di tahun 2019 jauh lebih solid dibanding 2014. Motornya adalah PKS. Ma’ruf menjadi seperti ‘guardian’-nya Jokowi menghadapi gempuran Islam politik. Sehingga tak berlebihan jika ada penilaian yang mengatakan bahwa begitu Jokowi menang Pilpres, tugas Ma’ruf sebenarnya sudah selesai. Dia telah menunaikan tugasnya dengan baik. Setelah itu perannya sebagai wakil presiden lebih kepada menjadi penasehat presiden seperti tugas yang sebelumnya dia emban di masa SBY.
oOo