Kamis 30 Sep 2021 12:07 WIB

Raba Leher Setiap Bangun Tidur, Pantau Kekambuhan Tiroid

Pertama kali kanker tiroid kambuh atau menyebar dimulai di leher.

Pengecekan gangguan tiroid. Ilustrasi
Foto: Reuters
Pengecekan gangguan tiroid. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mereka yang telah menjalani pengobatan kanker tiroid, perlu tetap memantau kondisi setidaknya enam hingga 12 bulan sekali selama dua tahun pertama. Pemantauan ini bisa berupa rutin meraba leher setiap bangun tidur demi mendeteksi kekambuhan yang bisa muncul.

Spesialis kedokteran nuklir dari Universitas Padjadjaran, dr Ryan Yudistiro, SpKN(K) Ph.D, FANMB, mengatakan kekambuhan dan kemungkinan penyebaran biasanya dimulai dari leher sehingga meraba leher menjadi rekomendasi. Kanker tiroid umumnya menyerang kelenjar tiroid yang terletak tepatnya di bawah jakun, berbentuk seperti perisai. 

Kelenjar ini berfungsi mengatur metabolisme tubuh dan fungsi lainnya seperti suhu. "Kami lihat ada kekambuhan atau tidak, ada penyebaran kelenjar getah bening di leher atau tidak karena pertama kali kanker tiroid itu kambuh atau menyebar itu mulai di leher. Coba setiap bangun tidur, raba leher apakah ada benjolan baru atau tidak," ujarnya dalam webinar yang diselenggarakan Vipmed Specialist Team bertajuk "Kanker Tiroid Sudah Menyebar, Harus Bagaimana?", ditulis Kamis (30/9).

Bila benjolan ditemukan, maka pasien perlu berkonsultasi pada dokter yang merawatnya. Selanjutnya, dokter umumnya meminta pasien melakukan pemeriksaan USG leher dan pemeriksaan laboratorium seperti TSH, tiroglobulin antigen sebagai penanda tumor dan tiroglobulin antibodi dan whole body scan bila diperlukan. Pemeriksaan ini, menurut Ryan, untuk mengonfirmasi benjolan yang muncul merupakan kekambuhan, metastasis (penyebaran sel kanker dari satu organ atau jaringan tubuh ke jaringan tubuh lainnya) atau bukan di antara keduanya. Kanker tiroid termasuk peringkat 10 besar kanker di Indonesia dan peringkat kelima pada wanita. 

Sekitar 20 persen pasien berisiko mengalami metastasis dan dari angka ini terdapat perluang terjadinya refrakter atau tidak respons terhadap terapi ablasi iodium radioaktif (RAI). Saat refrakter terjadi, maka pengobatan yang semula mencakup tiga hal yakni operasi, RAI dan terapi hormon tiroid bisa menjadi lebih rumit. 

Di sisi lain, angka hidup pasien diprediksi lebih pendek dibandingkan mereka yang merespon baik terapi RAI. Terapi RAI berfungsi untuk memberikan sisa jaringan tiroid fungsional setelah operasi tiroidektomi total dan menurunkan risiko kekambuhan dan kematian.

Menurut Ryan, sebenarnya tiga pengobatan ini apabila bisa berjalan optimal bisa meningkatkan angka harapan hidup pasien. Hanya saja, ada peluang refrakter yang dikhawatirkan baik itu oleh dokter maupun pasien.

"Kadang kala suka ada yang responsnya enggak sempurna, ini disarankan PET/CT," kata Ryan.

Pada mereka yang tidak merespons terapi RAI, maka diusahakan pengobatan ablasi dosis tinggi. Tetapi sebelumnya, dokter biasanya menyarankan rediferensiasi untuk membuka saluran-saluran iodium di sel tiroid yang sempat tertutup. Peluang keberhasilan terapi ini sekitar 50 persen.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement