Selasa 05 Oct 2021 16:25 WIB

Paparan Panas Perkotaan Naik 3 kali Lipat di Dunia 

Selama 40 tahun terakhir, ratusan juta orang telah pindah dari pedesaan ke kota.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Dwi Murdaningsih
Seorang wanita minum air di Madrid, Spanyol, 11 Agustus 2021. Spanyol terkena gelombang panas dengan menurut perkiraan, suhu mencapai 44 derajat Celcius selama akhir pekan.
Foto: EPA-EFE/J.J. GUILLEN
Seorang wanita minum air di Madrid, Spanyol, 11 Agustus 2021. Spanyol terkena gelombang panas dengan menurut perkiraan, suhu mencapai 44 derajat Celcius selama akhir pekan.

REPUBLIKA.CO.ID, NEWYORK -- Jumlah hari di mana penduduk kota di seluruh dunia terkena panas dan kelembaban ekstrem telah meningkat tiga kali lipat sejak 1980-an. Ini berdasarkan studi yang diterbitkan oleh Proceedings of the National Academy of Sciences. 

Meningkatnya jumlah hari dengan panas dan kelembaban ekstrim di daerah perkotaan sekarang mempengaruhi hampir seperempat dari populasi global. Ini merupakan hasil gabungan dari kenaikan suhu dan pertumbuhan populasi perkotaan yang pesat. 

 

Jumlah hari-orang atau populasi dikalikan dengan hari di mana penduduk kota terpapar panas dan kelembapan ekstrem meningkat dari 40 miliar per tahun pada 1983 menjadi 119 miliar pada 2016. Pada 2016, sebanyak 1,7 miliar orang mengalami kondisi ini pada beberapa hari per tahun.

 

Peneliti studi asal Institut Bumi Universitas Columbia di New York City, Cascade Tuholske, menyebut peningkatan panas dan kelembaban ekstrem memiliki efek luas. 

 

"itu berdampak pada kemampuan orang untuk bekerja, dan menghasilkan output ekonomi yang lebih rendah (dan) memperburuk kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya," kata Tuholske dilansir dari UPI pada Selasa (5/10).

 

Selama 40 tahun terakhir, ratusan juta orang telah pindah dari daerah pedesaan ke kota. Wilayah kota sekarang menampung lebih dari setengah populasi dunia menurut para peneliti.

 

"Suhu di daerah perkotaan ini umumnya lebih tinggi daripada di pedesaan karena vegetasi yang jarang. Kemudian kota didominasi beton dan aspal yang cenderung memerangkap dan memusatkan panas," ujar Tuholske.

 

Studi yang berfokus pada kota-kota di Amerika Serikat dan diterbitkan pada Juli ini menemukan efek dari kondisi panas ekstrem lebih terasa di lingkungan ekonomi kelas bawah.

 

Untuk penelitian ini, Tuholske dan rekan-rekannya menggabungkan citra satelit inframerah dan pembacaan dari ribuan instrumen di darat untuk menentukan pembacaan panas dan kelembaban harian maksimum di 13.115 kota, dari tahun 1983 hingga 2016. Mereka mendefinisikan panas ekstrem sebagai 86 derajat Fahrenheit atau 30 derajat Celcius pada skala yang disebut "suhu bola basah" atau pengukuran yang memperhitungkan efek kelembaban tinggi pada tubuh manusia. 

 

Suhu bola basah ini kira-kira setara dengan 106 derajat Fahrenheit atau 41 derajat Celcius. Pada indeks panas ini dimana bahkan kebanyakan orang sehat merasa sulit untuk berfungsi di luar untuk waktu yang lama. Bahkan bagi yang tidak sehat mungkin menjadi sangat sakit atau bahkan mati dalam kondisi suhu tersebut.

 

Para peneliti mencocokkan data cuaca dengan statistik populasi kota selama periode waktu yang sama. 

 

"Pertumbuhan penduduk perkotaan menyumbang dua pertiga dari lonjakan paparan. Adapun pemanasan iklim berkontribusi sebanyak sepertiganya," ucap Tuholske. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement