REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut angka prevalensi orang dengan gangguan jiwa di Indonesia sekitar 1 dari 5 penduduk di Indonesia. Artinya, sekitar 20 persen populasi di Indonesia mempunyai potensi untuk mengalami masalah gangguan jiwa.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes, Celestinus Egiya Munthe mengatakan, faktor kesenjangan pengobatan juga menjadi salah satu masalah terkait kesehatan jiwa yang dihadapi Indonesia saat ini. Karena, belum semua provinsi memiliki rumah sakit jiwa. "Sehingga orang dengan gangguan jiwa tidak mendapat pengobatan yang seharusnya," kata dia dalam diskusi daring, Rabu (6/10).
Kemudian masalah sumber daya manusia (SDM) profesional untuk tenaga kesehatan jiwa juga masih sangat minim. Hingga kini, total psikiater sebagai tenaga profesional untuk pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia hanya 1.053 orang.
"Artinya, satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk. Ini suatu beban yang sangat besar dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan jiwa di Indonesia," tuturnya.
Permasalahan lainnya adalah masih terbatasnya akses pada layanan kesehatan jiwa. Kemudian, diskriminasi dan stigma pada orang dengan masalah kesehatan jiwa. Serta, pemenuhan hak asasi manusia terhadap orang dengan gangguan jiwa, dan angka penyalahgunaan napza yang masih tinggi.
"Masalah yang cukup pelik bagi kita adalah tingginya angka penyalahgunaan napza di Indonesia. Sampai hari ini, data yang kami dapatkan, terdapat sekitar 3.376.000 orang pengguna napza di seluruh Indonesia," kata dia.
Ada beberapa faktor penyebab masalah kesehatan jiwa, yakni genetik, biologi, hubungan keluarga, dan sosial. Faktor-faktor tersebut dapat terjadi selama perkembangan kehidupan seseorang sejak seribu awal kehidupan hingga lansia.
Untuk faktor genetik dapat terjadi bila adanya masalah keluarga yang memiliki kecendrumgan untuk menurunkan penyakit tertentu. Kemudian, secara biologis dapat terjadi mulai dari anak masa pertumbuhan dalam kehamilan hingga tumbuh kembang setelah anak lahir.
Salah satunya adalah mengalami masalah gangguan gizi. Gangguan ini juga dapat mengakibatkan hambatan dalam perkembangan mental psikologis.
Untuk faktor hubungan keluarga, bisa terjadi pada ibu yang mengalami depresi selama menjalani kehamilan dan berlanjut setelah melahirkan. Sementara, faktor sosial antara lain akibat mengalami perundungan atau pelecehan, masalah ekonomi, dan stigma.
Munthe menuturkan pandemi Covid-19 juga menjadi salah satu faktor meningkatnya masalah kesehatan jiwa dan kematian bunuh diri akibat depresi dan gangguan kecemasan. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia mencatat angka depresi meningkat Sembilan persen.
"Mengatasi masalah itu, kami melakukan upaya peningkatan konseling. Jadi, di semua rumah sakit jiwa kami, meluncurkan peningkatan layanan kesehatan jiwa melalui telemedicine. Cukup banyak rumah sakit jiwa kita yang memberi layanan ini secara gratis," tutur dia.
Saat ini, Kemenkes sudah mempunyai platform Sehat Jiwa untuk memberi layanan konseling untuk mengatasi masalah depresi dan masalah kesehatan jiwa lainnya yang telah melayani sekitar 600 konseling.