REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada akhir abad ke-19, seorang ilmuwan bernama William Coley mencurigai adanya hubungan yang tidak biasa antara infeksi bakteri dan remisi kanker. Coley mulai bereksperimen dengan formulasi bakteri yang berbeda untuk mengobati kanker.
Dilansir dari laman New Atlas, Sabtu (9/10), formulasi ini kemudian dikenal sebagai toksin Coley. Ia juga secara tidak sengaja menjadi pelopor imunoterapi kanker.
Sebagian besar penelitian abad ke-20 Coley diturunkan ke catatan kaki dalam sejarah sains. Namun, eksperimennya tidak menentu dan tidak memiliki standarisasi apa pun sehingga sangat sedikit peneliti yang dapat mereplikasi hasilnya.
Baru-baru ini, penlitian Coley menjadi fokus para peneliti asal Australia terkait interaksi kompleks antara kesehatan dan bakteri yang hidup di dalam tubuh. Para peneliti menemukan bahwa pengobatan kanker dengan cara menyuntikkan bakteri mati ke tumor untuk membantu sistem kekebalan menargetkan dan membunuh sel kanker.
Tes praklinis dan uji coba manusia awal menunjukkan pengobatan ini aman dan berpotensi efektif. Aude Fahrer, peneliti utama pada proyek tersebut, menjelaskan, pengobatan eksperimental ini sederhana dan murah.
"Ini melibatkan menyuntikkan pelepasan lambat mikrobakteri mati langsung ke dalam kanker," jelas Fahrer.
Ia menjelaskan, proses tersebt membawa sel-sel kekebalan ke dalam kanker untuk menyerang bakteri, meskipun mereka sudah mati. Sebagai efek sampingnya, sel-sel kekebalan juga menyerang kanker. Begitu sel-sel kekebalan berkembang biak, mereka melakukan perjalanan di sekitar tubuh sehingga tidak hanya menyerang kanker di tempat suntikan, tapi juga metastasis, di mana kanker telah menyebar ke bagian lain dari tubuh.
"Hal terbaik tentang pengobatan baru ini hanya membutuhkan sedikit dosis, mudah digunakan, dan memiliki efek samping yang rendah," tambah Fahrer.