REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bagong Suyanto, Dekan FISIP Universitas Airlangga
Di balik gemerlap penyelenggaraan PON XX di Papua, kerusuhan berdarah pecah di Yahukimo. Peristiwa ini memperlihatkan, Papua masih mengidap persoalan serius dalam hal potensi konflik kesukuan.
Akibat kesimpangsiuran penyebab meninggalnya mantan bupati Yahukimo, Abock Busup, aksi kekerasan massal tiba-tiba meletup di Dekai –ibu kota Yahukimo. Suku Kimnyal, pendukung Abock Busup dilaporkan menyerbu suku Yali yang dianggap saingan. Akibatnya, enam warga dilaporkan tewas dan 42 orang luka-luka. Sejumlah rumah dan hotel hangus dibakar massa. Kerusuhan di Yahukimo adalah peristiwa ke sekian kalinya di wilayah Papua.
Dalam lima tahun terakhir, meski banyak kemajuan pembangunan terjadi di Papua, kesenjangan antarkelas, gerakan separatis, isu industrialisasi yang kurang mengakomo dasi penduduk lokal dan konflik antarsuku masih menjadi persoalan laten.
Masalah pokok
Munculnya berbagai aksi kerusuhan dan konflik di Papua, memperlihatkan banyak hal yang perlu didiskusikan. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, harus diakui sebagian masyarakat Papua masih merasa diperlakukan bak anak tiri dalam pem ba ngunan.
Industrialisasi yang berkembang dan merambah wilayah Papua, dinilai hanya menguntungkan pendatang dan kepentingan kekuatan komersial. Sedangkan kebutuhan dan eksistensi masyarakat lokal justru sering terabaikan.
Secara garis besar, ada dua masalah di Papua. Pertama, terkait sensitivitas masyara kat Papua terhadap berbagai hal, yang kemu dian memicu munculnya rasa diperlakukan layaknya anak tiri.
Bagi masyarakat Papua, perasaan diper la kukan tak adil dan kecemburuan sosial hingga kini kerap muncul. Industrialisasi yang masuk ke Papua dinilai hanya menguras kekayaan sumber daya alam, tetapi tidak di redistribusikan bagi kesejahteraan masya rakat lokal.
Studi oleh Ngadisah (2003) berjudul Kon flik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua menemukan, di Papua pem bangunan yang hanya mengedepankan aspek teknis dan finansial tanpa memperhitungkan biaya sosial penduduk lokal, terutama eksis tensi adat istiadat dan hak-hak adat masya rakat setempat, terbukti melahirkan sejumlah problem sosial-budaya.
Kesenjangan budaya antara kultur kapitalisme yang mengglobal dan sistem nilai tradisional menimbulkan culture shock. Bahkan, studi Ngadisah menemukan, sebagian warga pribumi Papua menolak indus trialisasi.
Bukan sekadar melakukan protes sosial, melainkan juga serangkaian aksi yang ditengarai sebagai gerakan sosial berkepanjangan jangan hingga kini. Akibat kehadiran industri berskala besar, tak sedikit masyarakat lokal justru makin tersisih.
Kedua, terkait proses infiltrasi, invasi, dan suksesi kepemilikan aset sumber daya lokal kepada para pendatang. Studi Akhmad (2005) menemukan, proses transformasi ekonomi di Papua umumnya dihela para pendatang, yang dengan cepat menguasai pasar. Kehadiran mereka bukan saja menim bulkan proses marginalisasi, melainkan juga iklim sosial penuh potensi konflik dan mempertebal rasa primordial di kalangan orang Papua.