Jumat 22 Oct 2021 00:02 WIB

Tren Konsumsinya Terus Naik, Apa Itu Makanan Ultra Proses?

Makanan ultra proses mengandung zat penguat rasa hingga aditif lainnya.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Makanan ultra proses mengandung zat penguat rasa hingga aditif lainnya.
Foto: www.freepik.com
Makanan ultra proses mengandung zat penguat rasa hingga aditif lainnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di era modern, konsumsi makanan olahan telah mendominasi pasar kuliner dunia. Masyarakat khususnya kaum urban seperti telah terikat oleh serba-serbi makanan olahan dengan penguat rasa, perisa, lemak, garam dan zat aditif lain yang melewati proses panjang di pabrik (ultra-proses).

Beragam makanan ultra proses tentu tidak menyehatkan. Ironisnya, tren konsumsi makanan ultra proses tiap tahunnya terus meningkat. Studi terbaru menemukan bahwa sejak 2001 hingga 2008, makanan ultra proses seperti pizza beku, soda, fast food, permen, camilan gurih, sup kalengan dan sebagian besar sereal naik konsumsinya dari 53,5 persen menjadi 57 persen.

Baca Juga

Laporan yang diterbitkan American Journal of Clinical Nutrition tersebut mempelajari data makanan dari lebih 40 ribu orang dewasa AS. Di sisi lain, jumlah makanan utuh yang dikonsumsi seperti sayuran, buah-buahan, biji-bijian, daging, dan susu menurun dari 32,7 persen menjadi 27,4 persen.

"Kebiasaan makan rata-rata individu di AS telah bergeser ke makanan ultra proses. Ini memprihatinkan, karena mereka lebih banyak makanan olahan yang dikaitkan dengan kualitas diet yang buruk dan risiko yang lebih tinggi dari beberapa penyakit kronis,” kata penulis utama studi tersebut, Filippa Juul.

Juul juga mengemukakan bahwa pandemi Covid-19 turut mendorong masyarakat untuk lebih banyak membeli makanan kemasan atau ultra proses seperti makaroni, keju kotak, sup kalengan dan makanan ringan. 

“Sebagai cara mengatasi ketidakpastian pandemic, banyak orang mungkin lebih memilih makanan kemasan karena dirasa menenangkan,” kata dia.

Studi Juul mengklasifikasikan makanan ultra-olahan menggunakan sistem yang dirancang oleh para peneliti dari Universitas Sao Paulo, Brasil, yang disebut sistem klasifikasi makanan NOVA. Ini mengelompokkan makanan ke dalam empat kelompok berbeda berdasarkan jumlah pemrosesan, simak penjelasannya seperti dilansir dari Fit and Well, Kamis (21/10).

 

1. Makanan alami atau tidak diproses

Makanan yang tidak diproses diperoleh langsung dari tumbuhan atau hewan tanpa mengalami perubahan apapun. Kelompok makanan ini hanya melewati proses pembersihan, bagian yang tidak dapat dimakan dihilangkan, difermentasi, didinginkan, dibekukan, dan segala proses yang tidak menambahkan zat lain ke makanan aslinya.

Kelompok makanan ini meliputi buah dan sayuran alami atau beku; kacang-kacangan dan polong-polongan seperti lentil, kacang polong dan buncis; gandum, biji-bijian, dan tepung yang dibuat darinya; daging dan makanan laut segar, dingin atau beku; serta teh dan kopi.

 

2. Kelompok bahan makanan  

Kelompok kedua ini telah mendapatkan proses pengolahan lanjutan seperti pengilangan, penggilingan, pengeringan, fortifikasi dan lainnya. Tujuan dilakukannya proses pengolahan pada kelompok bahan makanan ini adalah untuk membuat prosuk yang bisa digunakan untuk menyiapkan, membumbui dan memasak bahan makanan kelompok 1 agar lebih mudah dinikmati.

Kelompok makanan ini meliputi minyak dari sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan, seperti bunga matahari dan zaitun; gula dan molase; madu dan sirup; pati, mentega, serta garam.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement