REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika negara-negara perlahan pulih dari gelombang varian Delta, pertanyaan terkait kemunculan varian-varian Covid-19 lannya terus ada. Selama virus penyebab pandemi Covid-19 terus menjangkiti manusia, maka varian baru akan terus bermunculan. Namun, bukan berarti varian akan muncul dengan frekuensi yang sama, atau menjadi lebih berbahaya.
Pada pekan lalu, Badan Keamanan Kesehatan Inggris mengatakan bahwa keturunan delta yang disebut AY.4.2 mulai berkembang dan meningkat frekuensinya di Inggris. Dalam sebuah pernyataan, Pusat Pengendalian Penyakit AS (CDC) mengatakan, varian AY.4.2 masih sangat langka atau jauh di bawah 0,05 persen dari semua virus yang ada, dengan kurang dari 10 kasus dilaporkan dalam database mereka sejauh ini.
"Saat ini tidak ada bukti bahwa sub-garis keturunan AY4.2 berdampak pada efektivitas vaksin atau terapi kami," tulis CDC mengutip Fox News, Sabtu (23/10).
Seorang ahli virus di Pennsylvania State University, Andrew Read, mengatakan bahwa virus perlu beradaptasi dengan inangnya untuk menyebar lebih luas. Sementara, CDC mengatakan, varian delta dua kali lipat menular seperti versi virus sebelumnya. Meski demikian, menurut CDC, tidak ada alasan evolusioner untuk virus menjadi lebih mematikan.
"Kami telah melihat tahap evolusi yang cepat untuk virus. Tetapi tidak ada banyak hal yang dapat dilakukan dari evolusi itu," ujar Ahli Virus dan Penyakit menular di University of Michigan, Adam Lauring.
Pun mereka yang sakit parah juga dalam kondisi kurang bersosialisasi, sehingga tidak menyebarkan virus ke orang lain. Dengan lebih dari separuh dunia belum divaksinasi, virus kemungkinan akan terus menginfeksi, mereplikasi, dan berpotensi bermutasi menciptakan varian baru.
Hampir 190 juta orang, atau sekitar 57 persen dari total populasi telah divaksinasi lengkap di AS. Para ilmuwan terus memantau terkait varian baru terhadap vaksinasi dan infeksi. Jika vaksin ternyata lebih lemah dari virus, maka para ahli dapat mempromosikan formula vaksin yang diperbarui secara berkala, seperti dalam kasus suntikan flu tahunan.
CEO Pfizer Inc, Albert Bourla mengatakan, perusahaannya dapat mengembangkan vaksin Covid-19 baru dalam 100 hari apabila diperlukan saat ini. Jurnal ilmiah Nature melaporkan bahwa pembuat vaksin Pfizer/BioNTech, Moderna, dan AstraZeneca telah melakukan studi klinis vaksin terhadap varian yang diketahui saat ini. Moderna disebut telah merekrut ratusan relawan untuk menguji vaksin RNA baru terhadap varian beta dan delta, kombinasi beta dan strain asli, dan vaksin multivalen beta-delta.