Senin 25 Oct 2021 08:34 WIB

Sidang Kasus Berdarah Km 50, Tragedi atau Dagelan?

Peristiwa berdarah KM 50 harusnya diusut tuntas demi tegaknya supremasi hukum.

Terdakwa kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (FPI) yaitu Briptu Fikri Ramadhan usai menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/10). PN Jaksel mengelar sidang perdana kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar FPI dengan terdakwa Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan dengan agenda pembacaan dakwaan.Prayogi/Republika
Foto: Prayogi/Republika.
Terdakwa kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (FPI) yaitu Briptu Fikri Ramadhan usai menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/10). PN Jaksel mengelar sidang perdana kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar FPI dengan terdakwa Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan dengan agenda pembacaan dakwaan.Prayogi/Republika

Oleh : Ilham Tirta, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Sidang perdana kasus pembantaian enam orang anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) membawa kita kembali pada memori kolektif pada peristiwa tanggal 6-7 Desember 2020 itu. Konstruksi peristiwa kembali dibangun, kronologi diteggakan, dan detail laku diuraikan. Namun, ruangan sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (18/10) itu masih terasa hambar, tanggung seperti leher keran yang digerogoti lumut. Persitiwa berdarah di Km 50 Tol Jakarta-Cikampek itu masih dirasa misterius, ditutupi bayang-bayang antara sandiwara dan kenyataan.

"Sidang abal-abal itu tidak akan sedikit pun memenuhi rasa keadilan rakyat, malah justru sebaliknya, semakin menambah kezaliman kalian di mata rakyat," begitu kata Syuhada, ayah kandung korban Faiz Ahmad Syukur, Selasa (19/10).

Ada sejumlah pertanyaan besar yang mengganjal sehingga rangkaian peristiwa yang dibacakan di pengadilan masih dianggap dagelan semata. Pertama, soal konstruksi kasus yang masih menimbulkan pertanyaan. Sejak awal, konstruksi kasus yang dijelaskan pihak kepolisian sudah menimbulkan berbagai pertentangan. Sementara, tidak ada saksi mata dari pihak korban yang dapat membantah klaim-klaim polisi.

Pada 7 Desember 2020, Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran menjelaskan pertama kali peristiwa yang diklaimnya sebagai serangan mematikan terhadap anggotanya yang sedang bertugas. Ragam alat bukti diperlihatkan, terutama pistol dan samurai yang diklaim sebagai alat untuk menyerang para petugas. Fadil menyatakan, anggotanya yang berjumlah enam orang diserang oleh 10 anggota laskar FPI menggunakan senjata api dan senjata tajam. Polisi kemudian menembak mati enam orang dan empat lainnya melarikan diri.

Klaim itu dibantah oleh FPI yang menyatakan enam anggotanya telah dibantai oleh orang tak dikenal yang belakangan diketahui sebagai rombongan polisi. FPI menyatakan, para laskar digiring ke sebuah bangunan yang menjadi lokasi eksekusi mereka. Penelusuran mandiri sejumlah pihak menguatkan versi FPI, setidaknya sebagian dari mereka dieksekusi di tempat berbeda. Komnas HAM kemudian menyatakan melakukan investigasi mandiri.

Baca juga : Prediksi Jalan Terjal Anies Menuju Pilpres 2024

Namun, polisi tidak tidak tinggal diam. Polri mengambil alih penyelidikan dan melakukan rekonstruksi awal. Penyelidikan Bareskrim kemudian menyebut empat dari enam anggota laskar FPI terbunuh dalam mobil polisi. Hasil investigasi Komnas HAM tidak jauh dari rekonstruksi peristiwa versi Polri. Namun, Komnas HAM menyatakan pembunuhan empat orang dalam mobil itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam bentuk unlawful killing. Komnas HAM meminta kasus itu diusut hingga ke persidangan. Bareskrim menyanggupinya.

Pertanyaan kedua adalah tidak terpenuhinya unsur pelanggaran HAM berat dalam aksi koboi para polisi tersebut. Komnas HAM dalam hasil investigasinya menyatakan tidak terpenuhinya unsur pelanggaran HAM berat karena tidak adanya perintah langsung atasan sehingga tidak tersistematis. Namun, dalam dakwaan jaksa terhadap dua pelaku, Briptu Fikri Ramadhan bersama Ipda Yusmin Ohorello, terungkap adanya tiga surat perintah yang keluar dari Polda Metro Jaya dalam operasi pembuntutan Habib Rizieq Shihab yang berujung peristiwa berdarah itu.

Dalam melaksanakan tiga surat perintah tersebut, Briptu Fikri Ramadhan bersama Ipda Yusmin Ohorello membentuk tim yang beranggotan lima personel Resmob lainnya. Pada malam kejadian, Ahad, 6 Desember sampai 7 Desember 2020 dinihari, Bripka Faisal, Briptu Fikri, Ipda Yusmin, dan Ipda Elwira mengendarai mobil avanza silver K 9143 EL. Rombongan ini kemudian terlibat aksi pembunuhan enam pengawal rombongan keluarga Habib Rizieq.

Pertanyaan berikutnya soal kematian tersangka Ipda Elwira. Bareskrim Polri pada Jumat (26/3), menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu Briptu Fikri, Ipda Yusmin, dan Ipda Elwira. Namun, nama terakhir disebut telah meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal di Jalan Bukit Jaya, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan pada 3 Januari 2021.

Kematian Elwira pun sangat misterius karena lokasi kecelakaan yang disebut Polri tidak terdeteksi di kecamatan setempat. Camat Setu, Hamdani HS yang ditemui Republika pada Rabu (31/3), mengatakan, tidak ada lokasi bernama Jalan Bukit Jaya di wilayahnya. “Saya sudah dalami, tidak ada (kecelakaan). Saya tanya ke tim UCT (Cepat Tanggap), enggak ada laporan,” kata dia, Rabu (31/3). Polisi setempat malah meminta Republika menanyakannya ke Bareskrim langsung. Hingga saat ini, kematian Elwira masih tidak kalah misteriusnya dengan konstruksi pembunuhan di Km 50. 

Pertanyaan keempat adalah tidak ditahannya kedua terdakwa. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, Briptu Fikri dan Ipda Yusmin tetap aktif di Polda Metro Jaya. Saat kasusnya dilimpahkan ke kejaksaan, mereka tetap tidak ditahan. Sampai usai sidang perdana pada Senin, hakim pun tidak memerintahkan mereka ditahan. Padahal keduanya didakwa dengan Pasal 338 dan Pasal 351 ayat (3) KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana dengan ancaman pidana 15 dan tujuh tahun penjara. Dalam Pasal 21 ayat 4 KUHAP, tersangka yang melakukan pidana dengan ancaman penjara di atas 5 tahun bisa ditahan. Pasal ini lazim dipakai polisi untuk menahan para tersangka.

Baca juga : Hari Ini 13 Ganjil Genap Resmi Diberlakukan

Terlepas dari jawaban dari semua pertanyaan di atas, pengacara keluarga korban, Azis Yanuar masih berharap pengadilan mengungkap kasus itu dengan terang benderang. Azis menilai, dakwaan jaksa pada Senin adalah gambaran umum dugaan keterlibatan otoritas elite di lingkungan kepolisian yang memberi perintah. Hal itu menguatkan kasus tersebut sebagai pelanggaran HAM berat.

“Dari dakwaan itu, seharusnya penegak hukum dan pemerintah sadar. Karena itu (dakwaan), bukti pembunuhan enam Laskar FPI itu adalah pelanggaran HAM berat,” ujar Azis, Selasa (19/10).

Sementara, tim penasehat hukum dua terdakwa memuji dakwaan jaksa yang dinilainya jujur dan proposional. Mereka menitik beratkan pada klaim adanya serangan lebih dulu dari laskar FPI. Salah satu penasehat hukum terdakwa, Henry Yosodiningrat menyatakan menerima dakwaan JPU dan tidak akan mengajukan eksepsi atau keberatan.

"Sudah memenuhi syarat-syarat dakwaan menurut KUHP. Sehingga kami tidak menyatakan eksepsi atau tidak menyatakan keberatan," kata Henry Yosodiningrat dalam sidang tersebut.

Sidang kasus tersebut akan kembali digelar pada Selasa (26/10) mendatang dengan agenda pembuktian. Dalam rencana sidang kedua tersebut, jaksa akan menghadirkan delapan orang saksi. Siapa saksi-saksi itu, masih tidak dijelaskan. Namun, semua mata masih melirik kasus itu dengan seksama. Berharap peristiwa kelam Km 50 itu bisa diungkap tuntas demi kembali tegaknya sepermasi hukum di Tanah Air.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement