REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar kajian studi media Universitas Airlangga (Unair) Rachmah Ida mengkritisi banyaknya konten kreator yang kerap mengekploitasi kemiskinan seseorang. Konten tersebut memang biasanya sukses menggaet penonton dan simpati publik serta sering menjadi trending hingga memancing kreator lain untuk membuat yang serupa.
Ida mengatakan, jika diproduksi secara terus menerus, konten seperti itu dapat membuat jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar. Sebab, terjadi alienasi terhadap orang di bawah garis kemiskinan.
"Untuk itu, konten kreator harus kreatif, tidak mengeksploitasi kemiskinan orang lain," kata Ida di Surabaya, Rabu (27/10).
Menurut Ida, ketika orang miskin dikomodifikasi, itu tandanya kreator sudah tidak kreatif. Ia menyebut konten tersebut adalah bentuk dari poverty porn karena fokusnya adalah menunjukan penderitaan kemiskinan.
Ida menjelaskan, tajuk ini sudah muncul sejak 1980-an. Kala itu, lembaga penggalangan donasi memakai pendekatan tersebut dengan tujuan menggugah masyarakat untuk menyumbangkan uangnya.
"Meskipun tujuannya untuk menggalang dana, tapi tidak harus dengan menunjukan penderitaan orang miskin," kata guru besar media pertama di Indonesia tersebut.
Poverty porn, menurut Ida, bisa disebut melanggar etika. Dalam kajian media, itu dapat dikategorikan dalam konteks eksploitasi.
"Rasa iba jadi pemicu dalam konten poverty porn, sehingga audiens memiliki kedekatan dan merasakan posisi orang tersebut," kata Ida.