Jumat 29 Oct 2021 05:57 WIB

28 Oktober 1928: Tidak Ada Sumpah Pemuda?

Perlukah fakta sejarah Sumpah Pemuda ditulis ulang?

Sejumlah warga hormat bendera saat mengikuti pengibaran bendera Merah Putih di bukit Cangkraman, Pegunungan Patiayam, Desa Terban, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (28/10/2021). Pengibaran dan penghormatan bendera Merah Putih berukuran 5 x 9,5 meter di atas bukit setinggi kurang lebih 350 meter di atas permukaan laut itu untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda sekaligus meningkatkan rasa nasionalisme.
Foto: ANTARA/Yusuf Nugroho
Sejumlah warga hormat bendera saat mengikuti pengibaran bendera Merah Putih di bukit Cangkraman, Pegunungan Patiayam, Desa Terban, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (28/10/2021). Pengibaran dan penghormatan bendera Merah Putih berukuran 5 x 9,5 meter di atas bukit setinggi kurang lebih 350 meter di atas permukaan laut itu untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda sekaligus meningkatkan rasa nasionalisme.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Batara Hutagalung, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)

Pengantar

Selama puluhan tahun rakyat Indonesia percaya bahwa pada 28 Oktober 1928 para pemuda pribumi yang tergabung dalam berbagai organisasi-organisasi di wilayah jajahan Belanda mengucapkan “Sumpah Pemuda”. Apabila diteliti lebih mendalam terlihat bahwa pada 28 Oktober 1928 tidak ada yang dinamakan “Sumpah Pemuda.” Penamaan ini merupakan rekayasa di tahun 1950-an.

Di buku-buku sejarah untuk sekolah-sekolah dan penulisan-penulisan mengenai sejarah yang beredar di masyarakat luas terdapat sangat banyak kesalahan, rekayasa, manipulasi, pemalsuan penulisan sejarah dan bahkan pemalsuan sejarah, yaitu mengarang suatu peristiwa yang sebenarnya tidak ada. Juga di buku pedoman/ panduan Kurikulum 2013 Revisi 2017 yang dikeluarkan oleh Kemendikbud masih terdapat banyak kesalahan. 

Penulisan mengenai sejarah yang paling banyak salah, bahkan kesalahan fatal dan menyesatkan, adalah buku Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI yang diterbitkan oleh MPR RI. Masyarakat perlu mengetahui bahwa rencana anggaran yang akan dikeluarkan oleh negara untuk sosialisasi Empat Pilar MPR tahun 2020 mencapai 1 triliun rupiah.

Artinya negara mengeluarkan dana 1 triliun rupiah untuk menyebar-luaskan tulisan sejarah yang salah. Walaupun hal ini sudah disampaikan melalui Surat Terbuka kepada ketua MPR RI 2019-2024 dan ke banyak anggota DPR/MPR RI serta penyelenggara negara, tetapi tidak ada satu pun yang bereaksi. Kelihatannya para wakil rakyat tidak berminat untuk meluruskan penulisan sejarah yang salah, yang telah mereka sebar luaskan dengan anggaran yang sangat besar dari negara.

Mengenai rekayasa hasil Kerapatan Pemuda Indonesia II yang kemudian disebut sebagai “Sumpah Pemuda”, beberapa sejarawan sebenarnya sudah sejak lama menulis atau menyampaikan adanya rekayasa tersebut. Bahkan ada sejarawan yang menulis bahwa “Sumpah Pemuda” adalah kebohongan besar. Namun, karena masyarakat Indonesia sejak puluhan tahun percaya hasil rekayasa ini, sangat sulit untuk mengubah pendapat umum tersebut. Hal ini sama seperti mitos-mitos atau kebohongan atau kekeliruan lain yang selama puluhan tahun telah beredar dan melekat dalam ingatan kolektif masyarakat.

Dalam beberapa tulisan terdahulu, sudah saya kemukakan bahwa yang dibahas dalam Kongres Pemuda II hanyalah menyelesaikan perbedaan pendapat antara M Tabrani Suryowicitro dan Muhammad Yamin, dalam Kongres Pemuda I mengenai nama bahasa yang akan digunakan menjadi bahasa persatuan. Sedangkan, mengenai satu nusa dan satu bangsa Indonesia telah disepakati bersama.

Tujuan Diselenggarakannya Kongres Pemuda I dan II

Di awal abad 20 di wilayah jajahan Belanda, semua organisasi baik untuk umum maupun untuk para pemuda, masih bersifat kedaerahan, atau yang berasal dari satu pulau atau berdasarkan kesamaan agama. Organisasi-organisasi tersebut a.l. Budi Utomo, Tri Koro Darmo, Jong (pemuda) Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Bataksche Bond, Jong Ambon, Jong Celebes (Sulawesi), Jong Minahasa, Sekar Roekoen (organisasi pemuda Sunda), Pemoeda Kaoem Betawi, dll. Juga berdasarkan agama, seperti Jong Islamieten Bond (Islam), Indonesische Christen Jongeren (Kristen Protestan) dan Katholieke Jongelingen Bond (Kristen Katholik). 

Tujuan didirikannya organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908 adalah untuk membantu putra-putra bangsawan Jawa dari golongan rendahan untuk memperoleh pendidikan. Demikian juga organisasi pemudanya, Tri Koro Darmo dan Jong Java, hanya untuk para pemuda dari Jawa dan Madura.

Tujuan Jong Java adalah mendirikan Jawa Raya yang mencakup Bali dan Lombok. Demikian juga dengan tujuan didirikannya organisasi-organisasi pemuda pribumi lain yang masih bersifat etnis atau agama, yaitu hanya untuk kegiatan-kegiatan sosial, saling membantu dengan dasar etnisitas atau agama. Organisasi-organisasi tersebut tidak dapat dinamakan sebagai gerakan nasional bangsa Indonesia karena bangsa (nation) Indonesia belum ada, bangsa Indonesia sebagai entitas politik baru ada sejak tanggal 17 Agustus 1945.

Satu-satunya organisasi pemuda pribumi yang didirikan oleh pemuda-pemuda yang berasal dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda adalah Indische Vereeniging (Perhimpunan India), yang didirikan di Belanda tahun 1908. Pada waktu itu, jajahan Belanda di Asia Tenggara dinamakan Nederlands Indie (India Belanda) dan penduduknya oleh orang Belanda hanya disebut sebagai Indier (orang India). Sebutan ini sangat menyesatkan, karena tidak dibedakan namanya antara India jajahan Inggris dan India jajahan Belanda. Hanya dalam bahasa Inggris jajahan-jajahan tersebut dinamakan British East India dan Netherlands East India. Tujuan didirikannya Indische Vereeniging semula juga hanya untuk kegiatan-kegiatan sosial dan saling membantu. 

Pada 25 Desember 1912 Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro), Cipto Mangunkusumo dan Ernest FE Douwes Dekker (Danudirja Setiabudhi) mendirikan partai politik pertama yang dinamakan Indische Partij (Partai India). Indische Partij hanya berusia beberapa bulan karena tidak mendapat izin dari pemerintah kolonial. Karena sikap mereka yang radikal dan dianggap mengganggu ketenteraman masyarakat, ketiga tokoh tersebut diasingkan ke Belanda tahun 1913. Di Belanda, Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo masuk menjadi anggota Indische Vereeniging. Suwardi Suryaningrat bahkan kemudian menjadi ketua Indische Vereeniging. Sejak itu, Indische Vereeniging bersifat politis dengan tujuan untuk membebaskan diri dari penjajahan. 

Para tokoh pergerakan melawan penjajahan Belanda, baik yang berada di Nederlands Indie maupun yang berada di Eropa, termasuk di Belanda, menyadari bahwa mereka berasal dari berbagai etnis yang berbeda kebudayaan, bahasa, dan agama. Oleh karena itu mereka melihat bahwa untuk melawan penjajah, mereka harus membangkitkan kesadaran semua etnis agar bersatu. Para pemuda yang berada di Belanda telah terlebih dahulu bernaung di organisasi yang tidak bersifat kedaerahan atau keagamaan. 

Pemikiran-pemikiran dan pergerakan para pemuda/mahasiswa pribumi dari Nederlands-Indie (India Belanda) yang belajar di Eropa, terutama di Belanda, sangat berpengaruh terhadap pergerakan pemuda-pemudi pribumi di Nederlands Indie. Sejak awal tahun 1920-an, nama INDONESIA diperkenalkan kepada tokoh-tokoh dan para pemuda pribumi di Nederlands Indie. Himbauan ini disambut baik oleh banyak anggota dari beberapa organisasi pemuda tersebut. 

Banyak di antara mereka sudah saling mengenal, karena mereka menempuh pendidikan di sekolah yang sama, atau tinggal di tempat kos/asrama yang sama, sehingga hampir setiap hari bertemu dan berdiskusi. Pertemuan-pertemuan dan tempat mereka berdiskusi adalah di Indonesische Clubgebouw (Gedung Perkumpulan India) di Jl Kramat 106, tempat mereka kos dan menyewa ruangan, atau ngobrol tentang politik di Gang Rijkman dan Fromberg Park, dll. 

Para pemuda pribumi tersebut sepakat untuk menyelenggarakan pertemuan guna mempersatukan organisasi-organisasi pemuda pribumi di seluruh wilayah jajahan Belanda, yang waktu itu masih berdasarkan etnis, berasal dari pulau yang sama atau berdasarkan kesamaan agama. Inilah tujuan utama diselenggarakannya Kongres Pemuda I dan II.

 

                              Susunan Acara Kongres Pemuda II

 

Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia I) 

Pertemuan besar informal dari para pemuda pribumi yang pertama, diselenggarakan tanggal 15 November 1925 di gedung Lux Orientis, Batavia (sekarang Jakarta). Hadir secara pribadi (belum sebagai wakil organisasi) pemuda-pemuda dari Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Ambon, Pelajar Minahasa, Sekar Roekoen dan beberapa peminat perorangan.  

 

Gedung De Ster in het Oosten (Bintang Timur). Tempat penyelenggaraan Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I. Sekarang menjadi Kantor Pusat Kimia Farma, di Jl Budi Utomo No 1

 

Dengan suara bulat dibentuk satu panitia untuk menyelenggarakan pertemuan dari berbagai organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan dan keagamaan tersebut. Tujuannya, sebagaimana dituturkan oleh M. Tabrani Suryowicitro, Ketua Panitia Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I: 

“Menggugah semangat kerja sama di antara bermacam-macam organisasi pemuda di Tanah Air kita, supaya dapat diwujudkan dasar pokok untuk lahirnya persatuan Indonesia di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia.”

 Susunan Panitia:

Ketua: Mohammad Tabrani Soerjowitjitro 

Wakil Ketua: Sumarto

Sekretaris: Djamaluddin (Kemudian dikenal sebagai Adi Negoro) 

Bendahara: Suwarso.

Anggota Panitia lain adalah Bahder Djohan, Jan Toule Soulehuwij, Paul Pinontoan, Hamami, Sanusi Pane dan Sarbaini.

Panitia yang diketuai oleh Mohammad Tabrani mengundang para anggota dari organisasi-organisasi pemuda untuk menghadiri pertemuan yang waktu itu dalam bahasa Melayu dinamakan Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I. Dalam bahasa Belanda dinamakan Het eerste indonesische Jeugd Congres. Kerapatan tersebut diselenggarakan di Gedung De Ster in het Oosten (Bintang Timur) milik Perkumpulan Vrijmetselaarij (Freemason), Batavia dari tanggal 30 April-2 Mei 1926. Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I kemudian disebut sebagai Kongres Pemuda I. 

 

Ket Foto: Mohammad Tabrani Soerjowitjitro

Dalam Kerapatan Besar Pemuda Indonesia I, hadir anggota-anggota  dari Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Bataksche Bond, Jong Islamieten Bond, Studierenden Minahasaers dan Sekar Roekoen. Status peserta masih sebagai pribadi. Hadir juga Wage Rudolf Supratman, wartawan dari Harian Sin Po.

Pertemuan besar pertama dari para pemuda-pemudi pribumi di wilayah jajahan Belanda membahas masalah Persatuan, Peran Perempuan, Peran Agama dan pentingnya Bahasa Persatuan, dalam rangka mencapai persatuan. Pada waktu itu tidak semua peserta fasih berbahasa Melayu, sehingga semua pembicara menggunakan bahasa Belanda. Pembahasan juga dilakukan dalam bahasa Belanda. Demikian juga hasil-hasil kerapatan diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul Verslag van het Eerste Indonesisch Jeugdcongres, Gehouden te Weltevreden van 30 April tot 2 Mei 1926 (Laporan Kongres Pertama Pemuda Indonesia, diselenggarakan di Weltevreden dari tanggal 30 April sampai 2 Mei 1926).  

Laporan lengkap yang diterbitkan oleh Panitia Kongres disita dan dimusnahkan oleh penguasa Belanda. Untung sebelum menyampaikan laporan tersebut, Tabrani diam-diam membuat dua salinan laporan. Satu diberikan kepada redaksi majalah mingguan, dan satu salinan disampaikan ke Museum  Pusat di Batavia. Sangat disayangkan, laporan hasil Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun 1981. 

Dalam sambutan pembukaan Kerapatan, Tabrani mengatakan:

“Bagaimana kita memajukan pertumbuhan Semangat Persatuan Nasional dengan menghindari segala sesuatu yang dapat mencerai-beraikan kita. Maka panitia memilih acara-acara yang mengandung unsur-unsur pemersatu dan menjauhkan diri dari benih-benih perpecahan.”

Tabrani menutup sambutannya dengan kata-kata: 

”Mengakhiri pidato saya, saya amat mengharapkan, supaya kongres ini menyuarakan generasi muda sekarang yang nantinya terpanggil untuk bekerja, berkarya, berjuang dan meninggal untuk Kemerdekaan Nusa dan Bangsa. Rakyat di seluruh kepulauan Indonesia, bersatulah!” 

Demikianlah yang diucapkan oleh seorang pemuda berusia 22 tahun, pada 30 April 1926.

Salah satu pidato yang sangat penting disampaikan oleh pemuda Sumarto, Ketua Jong Java. Dia mengatakan:

“Semangat persatuan Indonesia pada pokoknya bersumber kepada semangat kemerdekaan. Ia mengandung cita-cita untuk mencapai Negara Kesatuan Indonesia yang merdeka. Indonesia karenanya adalah pengertian politik, berbeda dengan Indonesia dalam pengertian bukan politik. Secara etnologisch, philologisch, dan geografisch. Indonesia mengandung arti yang lebih luas. 

Karenanya dapat dimengerti bahwa sebutan itu tidak dapat memuaskan banyak orang. Bahkan menimbulkan pendapat bahwa Indonesia itu hanya impian atau khayalan belaka. Namun, mereka yang berpendapat demikian berbuat suatu kesalahan karena tidak dapat membedakan antara politik dan ilmu. Indonesia menurut pendapat saya harus diartikan secara politis.

Dr Ratulangi dalam Kongres Al-Indie di Bandung menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Indonesia ialah daerah di Asia dan Australia yang terkenal dengan nama Hindia Belanda.

Berhubung dengan ini, orang Indonesia ialah yang tergolong PRIBUMI INDONESIA.” 

Kalimat terakhir ini merujuk kepada Peraturan Pemerintah kolonial (Regeringsreglement) tahun 1920 yang membagi penduduk menjadi tiga golongan strata sosial dan hukum, yaitu:

1.   Europeanen (bangsa-bangsa Eropa). Bangsa Jepang disetarakan dengan bangsa Eropa.

2.   Vreemde Oosterlingen (Timur asing), yaitu bangsa Cina dan bangsa Arab,

3.   Inlander (Pribumi).  

Tahun 1926, Peraturan Pemerintah tersebut dikukuhkan menjadi Peraturan Negara (Staatsregeling).

Perlu diketahui, bahwa selama ratusan tahun, dari tahun 1640-1862, di wilayah jajahan Belanda resmi diberlakukan Undang-Undang Perbudakan. Pribumi leluhur bangsa Indonesia diperjualbelikan sebagai BUDAK DI NEGERI SENDIRI. Pada waktu itu, salah satu ukuran kekayaan seseorang adalah jumlah budak yang dimilikinya.

Sampai tanggal 9 Maret 1942, yaitu tanggal menyerahnya pemerintah Nederlands Indie (India Belanda) kepada Jepang di Kalijati, di depan gedung-gedung mewah, hotel-hotel mewah, tempat pemandian umum elit, terpasang plakat dengan tulisan VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDER, artinga TERLARANG UNTUK ANGJING DAN PRIBUMI. Pribumi yang berada di dalam gedung-gedung/hotel-hotel mewah tersebut hanyalah para jongos. Setelah ratusan tahun diperjualbelikan sebagai budak di negeri sendiri, pribumi “naik tingkat” menjadi JONGOS DI NEGERI SENDIRI.

Ket Foto: Buku yang terbit di Belanda dengan judul: "Verboden voor honden en inlander", artinya "TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI."

Diskriminasi rasial dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat biadab ini juga menjadi salah-satu penyebab yang membangkitkan semangat pribumi untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini juga menjadi dasar dalam menyusun Undang-Undang Dasar yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) bulan Mei/Juni dan Juli 1945. Rancangan Undang-Undang Dasar ini disahkan pada 18 Agustus 1945.

(Lihat Pasal 6 Ayat 1 UUD ’45 asli, dan Pasal 26 Ayat 1 UUD ’45). 

Sebagai penutup pidatonya, Sumarto mengatakan:

“Jika pada penutup uraian saya ini ditanyakan kepada saya, apakah kemauan saya dan apakah yang sepenuhnya terkandung dalam hati saya, maka jawab saya ialah: Pemuda Indonesia bangunlah menuju persatuan, bangkitlah menuju indonesia merdeka!” 

Dapat dikatakan, bahwa Kongres Pemuda Indonesia I adalah jawaban terhadap Peraturan Pemerintah Kolonial yang sangat diskriminatif, yang menempatkan pribumi, pemilik negeri yang sesungguhnya, menjadi penduduk kelas tiga, menjadi golongan strata sosial dan hukum yang terrendah,

Mengenai peranan wanita, tiga pembicara menyampaikan pandangannya, yaitu Nona Stientje Ticoalu-Adam asal Minahasa yang menyampaikan mengenai kedudukan wanita di Minahasa, Djaksodipuro menyampaikan mengenai hukum adat di Solo yang dikenal dengan sebutan “rapak-lumuh,” dan Bahder Djohan.

Dalam Kerapatan pemuda pertama tersebut juga dibahas mengenai peran agama untuk mencapai persatuan. Paul Pinontoan, pemuda asal Minahasa, menyerukan saling pengertian (tolerantie) di antara pemeluk bermacam-macam agama dan kepercayaan di seluruh Indonesia demi untuk memperkuat gerakan persatuan nasional.

Selain hal-hal tersebut di atas, juga dibahas masalah bahasa Persatuan. Disadari bahwa diperlukan satu bahasa persatuan sebagai pengganti bahasa Belanda. Tabrani adalah orang pertama yang mengusulkan digunakannya nama bahasa Indonesia untuk bahasa Melayu. Sedangkan, Mohammad Yamin (1903-1962) mengajukan usul agar menetapkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan, tetap dengan nama BAHASA MELAYU. Bahasa Melayu telah menjadi lingua franca, bahasa pengantar dalam perdagangan dan komunikasi antar etnis/bangsa di kawasan Asia Tenggara sejak ratusan tahun.

Sehubungan dengan hal ini, Tabrani menulis a.l.:

“Menurut Mohammad Yamin, hanya dua bahasa, yaitu Jawa dan Melayu, yang mengandung harapan menjadi bahasa persatuan. Namun, menurut keyakinannya bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan bagi rakyat Indonesia. Kebudayaan Indonesia di masa depan akan diutarakan dalam bahasa tersebut ....

... sekitar pidato saudara Yamin ini mungkin ada faedahnya disajikan sesuatu yang hanya diketahui oleh tiga pemuda ketika itu yaitu saudara Yamin sendiri, saudara Djamaludin dan saya. Soalnya, saya tidak setuju, jika berdasarkan uraian saudara Yamin itu (walaupun saya menyetujui seluruh pidatonya) Kongres lantas akan mengambil keputusan, bahasa Melayulah yang akan dijadikan bahasa persatuan. Jalan pikiran saya ialah tujuan kita besama yaitu SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA.

Kalau Nusa itu bernama Indonesia, Bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasanya harus disebut BAHASA INDONESIA, dan bukan Bahasa Melayu, walaupun unsur-unsur bahasa Melayu mendasari Bahasa Indonesia itu.

Saudara-saudara Yamin dan Djamaludin memahami dan menghargai dan menyetujui jalan pikiran saya, SEHINGGA PENGAMBILAN PUTUSAN TENTANG NAMA BAHASA PERSATUAN DITUNDA DAN HENDAKNYA DIKEMUKAKAN DALAM KONGRES PEMUDA KEDUA.” 

Demikian penjelasan M Tabrani, Ketua Panitia Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia I. 

Dari keterangan M Tabrani dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda terlihat jelas bahwa embrio gagasan “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” telah disampaikan dalam Kerapatan (Kongres) Pemuda-Pemudi Indonesia I. Namun karena masih ada beberapa kendala, a.l. belum tercapainya kesepakatan, maka gagasan tersebut dicetuskan dan disetujui dalam Kerapatan (Kongres) Pemuda II. 

 

Keterangan Foto: Djamaluddin Adinegoro

 

Dalam Kongres Pemuda I juga belum tercapai kesepakatan untuk melakukan fusi (peleburan) berbagai organisasi yang masih berdasarkan etnis dan agama, karena masih banyak yang mempertahankan azas kedaerahannya. Salahsatu terobosan besar adalah disepakati pentingnya suatu bahasa persatuan. Kongres Pemuda I menghasilkan kesepakatan untuk menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan, yang kemudian diterima sebagai salahsatu butir resolusi dalam Kongres Pemuda II dengan nama Bahasa Indonesia. 

 

Keterangan foto: Muhammad Yamin 

Keberhasilan lain dari kerapatan pemuda-pemudi Indonesia pertama ini adalah didirikannya dua organisasi pemuda yang tidak lagi bersifat kedaerahan atau keagamaan. Setelah usai kerapatan, pada bulan September 1926 didirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI)dan kemudian pada 20 Februari 1927 didirikan Jong Indonesia.

Dalam kongres pertama Jong Indonesia di Bandung tanggal 28 Desember 1927, nama Jong Indonesia resmi diganti menjadi Pemuda Indonesia. Kedua organisasi ini ikut menjadi motor penyelenggaraan kerapatan pemuda-pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II).

Bukan hanya sebagai pendahulu Kongres Pemuda II, hasil-hasil yang dicapai dalam Kongres Pemuda I dan pembahasan-pembahasan sesudah Kerapatan Pemuda I, sangat penting dalam mata-rantai proses pembangunan Bangsa dan Negara Bangsa Indonesia serta menetapkan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan.

Oleh karena itu, Kongres Pemuda Indonesia I harus merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Kongres Pemuda Indonesia II. Peletakan dasar menetapkan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, yaitu Bahasa Persatuan Bangsa Indonesia, ada di Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda I).

Pada akhir tahun 1926, dua tokoh yang berperan dalam Kerapatan I, yaitu M Tabrani dan Djamaludin melanjutkan pendidikan jurnalistik di Jerman. Tabrani kembali ke Nederlands-Indië tahun 1931, sehingga tidak dapat menghadiri Kerapatan II. Dalam pertemuan pada 23 April 1927 disepakati untuk menyelenggarakan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II. 

Putusan Kongres Pemuda II Merupakan Pematangan Hasil Kongres Pemuda I.

Pada awal bulan Oktober 1928 dibentuk Panitia Penyelenggara Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II. 

Susunan Panitia Kongres Pemuda II:

Ketua                   : Sugondo Joyopuspito (PPPI)

Wakil Ketua          : Joko Marsaid (Jong Java)

Sekretaris            : Muhammad Yamin (Jong Sumateranen Bond)

Bendahara           : Amir Syarifuddin Harahap (Jong Bataksche Bond)

Sebagaimana telah ditulis di atas bahwa Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II merupakan rapat umum yang terbuka untuk semua yang berminat hadir. Hal ini mengakibatkan membeludaknya masyarakat yang menghadiri ketiga sidang yang diselenggarakan selama dua hari, jumlah yang hadir mencapai sekitar 700 orang. Namun, yang resmi tercatat sebagai peserta sidang sekitar 80 orang yang berasal dari 9 organisasi pemuda pribumi.

Dalam tiga persidangan selama dua hari, disampaikan pidato-pidato mengenai persatuan, baik dari kalangan pemuda maupun dari kalangan senior.

Sebagaimana telah ditulis di atas, Mohammad Tabrani, tokoh yang berperan dalam kerapatan pertama tidak hadir, karena melanjutkan pendidikan jurnalistik di Jerman kemudian di Belanda. Namun, gagasannya mengenai “menciptakan” bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu, dibahas dalam kerapatan II.

M Yamin, yang dalam Kerapatan Pemuda I masih bersikukuh agar bahasa Melayu ditetapkan menjadi Bahasa Persatuan tetap dengan nama bahasa Melayu, akhirnya menyetujui bahwa nama Bahasa Persatuan bukan bahasa Melayu, melainkan bahasa Indonesia.  

Pada dasarnya, Kerapatan Pemuda II hanya menyempurnakan hasil dari Kerapatan Pemuda I dan beberapa pertemuan besar setelah Kerapatan Pemuda I serta belasan kali diskusi yang intensif di antara para pemuda dari organisasi-organisasi, baik yang terlibat dalam Kerapatan Pemuda I, maupun organisasi-organisasi yang dibentuk setelah Kerapatan Pemuda I.

Gagasan membentuk bangsa Indonesia dan mendirikan Negara Bangsa (Nation State) Indonesia, serta akan menggunakan Bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan, dirumuskan dalam resolusi sebagai Putusan Kongres Pemuda II. Resolusi tersebut dibacakan oleh Ketua Sidang Sugondo Joyopuspito pada sidang ketiga, sidang terakhir tanggal 28 Oktober 1928.

Menurut sejarawan JJ Rizal, sesuai dengan bukti yang ia dapat melalui Harian Sinpo, naskah asli hasil Putusan Kongres Pemuda-pemuda Indonesia berbunyi sebagai berikut:

1.   Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertanah air Indonesia. 

2.   Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa Indonesia.  

3.   Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa, bahasa Indonesia. 

Pada sesi terakhir kongres, ketika Mr. Sunario sedang berpidato, M. Yamin menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo dan berbisik kepada Soegondo: 

”Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie” (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), 

Kemudian Soegondo membubuhi paraf ”setuju” pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain untuk ”paraf setuju” juga. Teks tersebut dibacakan oleh Soegondo. 

Teks Putusan Kongres Pemuda – pemuda Indonesia yang ditulis oleh M Yamin adalah sebagai berikut:

1.   Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. 

2.   Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. 

3.   Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. 

Resolusi tersebut dibacakan oleh Ketua Sidang, Sugondo Joyopuspito dan diterima oleh sidang, menjadi Putusan Kongres. Tidak ada pembacaan Ikrar atau “Sumpah Pemuda.”

 

Mengenai kesalahpahaman terhadap hasil Kongres Pemuda II, Sugondo Joyopuspito, mantan Ketua Panitia/Ketua Sidang, dalam buku “45 Tahun Sumpah Pemuda” yang diterbitkan tahun 1973 oleh Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta, menjelaskan:

“Sebagian besar dari hadirin adalah khalayak ramai. Di antara khalayak ramai itu hadir juga para undangan, yaitu wakil perkumpulan-perkumpulan pemuda, parpol, ormas, dan orang-orang terkemuka. Hadir pula untuk menjalankan tugas dinas: pegawai PID (Politieke Inlichtingen Dienst) dan pegawai (Kantoor voor Inlandse Zaken) (kantor ini membuat laporan kepada Gubernur Jenderal; laporannya sering membela orang Indonesia dan berbeda dengan laporan PID; kepala kantor ini antara lain ialah Dr Hazen, Gobee dan van der Plas).

Panitia Kongres Pemuda II adalah sebuah panitia yang dibentuk oleh sidang terakhir (sidang-sidang ini sudah dimulai dalam tahun 1927 dan sidang terakhir diadakan pada awal bulan Oktober 1928) dari para utusan Pengurus Besar Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Indonesia (Pemuda Indonesia), Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi dengan Ketua Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Panitia itu diberi tugas untuk mengadakan rapat umum. 

Dalam rapat umum itu supaya diadakan pidato-pidato tentang soal yang memperkuat persatuan. Panitia itu ditugaskan untuk merumuskan resolusi yang menganjurkan persatuan dan pemakaian bahasa Indonesia di kalangan pemuda.

Panitia ini disebut Panitia Kongres Pemuda II oleh karena di tahun 1926 sudah pernah ada Panitia Kongres Pemuda I, yang diketuai oleh Moh Tabrani dan yang terdiri dari pemuda-pemuda anggota berbagai organisasi pemuda, tetapi bukan utusan dari Pengurus Besar organisasi-organisasi itu. 

Anggapan bahwa rapat-rapat umum pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 itu adalah rapat kongres pemuda-pemuda dari seluruh Indonesia disebabkan oleh beberapa hal.

Sebab pertama ialah penyiaran resolusi oleh sekretarisnya, yang berjudul Poetoesan Congres Pemoeda Indonesia. Dan resolusi itu dibuka dengan kata-kata “Kerapatan pemuda-pemoeda Indonesia yang diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemuda Indonesia ..... memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928...”

Resolusi itu memberi kesan kepada orang yang tidak menghadiri rapat-rapat umum tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 itu seolah-olah pada hari tesebut di atas para pemuda mengadakan rapat kongres. 

Moh Yamin waktu itu masih muda, baru satu tahun menjadi mahasiswa Rechts Hoge School. Dan anggota panitia lainnya lebih muda lagi, kecuali Djokomarsaid yang sudah pernah menjadi mantri polisi. Dan sudah menjadi watak orang muda suka memakai perkataan-perkataan  yang muluk. Sebab itu judul dan kata-kata resolusi yang disusun oleh Yamin lebih mengutamakan effect daripada kebenaran. Lagipula pemuda Yamin mempunyai aspirasi menjadi sastrawan. 

Seorang sastrawan itu dalam pandangannya memang lebih dipimpin oleh imajinasi daripada oleh kenyataan. 

Begitulah Yamin dalam pidatonya di rapat umum yang pertama tentang “Persatuan dan Kebangsaan Indonesia” berkata, bahwa ia merasa gembira berbicara di muka persidangan itu, karena para yang hadir datang dari seluruh Indonesia, seolah-olah orang-orang yang hadir dalam rapat umum itu baru datang kemarin dengan “kapal terbang” dari Ambon, Manado, Kotaraja, Padang, Denpasar, Yogya  dan lain-lain tempat dari seluruh Indonesia. 

Seterusnya dalam pidato Yamin melukiskan imajinasinya dengan kata-kata, bahwa persatuan dan Kebangsaaan Indonesia ialah hasil fikiran dan kemauan sejarah yang sudah beratus-ratus tahun umurnya. Semangat yang selama ini masih tidur, sekarang telah bangun dan sadar, dan inilah yang dinamakan Roh Indonesia.

Briljant kata beberapa orang muda. Bombast kata orang dewasa yang lebih suka mendengarkan kata-kata yang sederhana.” 

Demikianlah penjelasan dari Sugondo Joyopuspito, Ketua Panitia Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II). Dari keterangan initerlihat, bahwa yang dirancang adalah rapat umum yang terbuka untuk masyarakat luas. Jadi di dalam Kerapatan Pemuda II tidak dilakukan pembahasan-pembahasan yang mendalam. Panitia Kerapatan ditugaskan untuk merumuskan resolusi, yang sudah dibahas sejak Kerapatan Pemuda I tahun 1926. 

 

 

Poster ini dibuat bukan oleh Panitia Kongres, karena ada beberapa kesalahan:

1. Nama Jong Ambon tidak dicantumkan,

2. Penulisan Jong Batak seharusnya Jong Bataksche Bond.

3..Tempat penyelenggaraan di Batavia. Nama Jakarta baru digunakan mulai tanggal 8 Agustus 1942, yaitu di masa pendudukan tentara Jepang.

PENUTUP 

Dari penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh para pelaku sejarah, terutama kedua Ketua Panitia Kerapatan Pemuda dan tokoh-tokoh yang menyelenggarakan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia yang pertama dan kedua terlihat, bahwa selama ini cukup banyak kekeliruan dalam karangan-karangan mengenai kedua pertemuan besar organisasi-organisasi pemuda pribumi. 

Kesalahan-kesalahan karangan mengenai Kerapatan pertama disebabkan a.l. karena para pengarang kelihatannya belum membaca hasil laporan Kerapatan pertama. Hal ini terjadi karena laporan hasil kerapatan pertama dalam bahasa Belanda, baru diterjemahkan ke Bahasa Indonesia tahun 1981. 

Misalnya dalam buku karangan Drs. Mardanus Safwan, Peranan Gedung Kramat Raya No. 106 dalam melahirkan Sumpah Pemuda yang diterbitkan tahun 1973, mengenai Kongres Pemuda Indonesia Pertama terdapat beberapa kesalahan. M. Tabrani, Ketua Panitia Kongres Pemuda I menulis, bahwa dalam daftar bacaan buku tersebut, tidak dijumpai Laporan Hasil Kongres Pemuda Indonesia I.  

Apabila membaca karangan-karangan mengenai Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I, dan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II terlihat, bahwa karangan Mardanus Safwan ini menjadi rujukan/referensi. Kalau rujukan rujukannya salah, maka jelas karangan-karangan berikutnya yang menggunakan rujukan tersebut dipastikan salah. Demikianlah cara penyebaran informasi yang salah yang telah berlangsung selama puluhan tahun. 

Dalam beberapa artikel yang dimuat di beberapa media ternama, ditulis nama-nama orang-orang yang “berperan” dalam “lahirnya Sumpah Pemuda,” hanya satu nama yang ikut berperan dalam Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I, yaitu Muhammad Yamin. Bahkan dalam satu artikel, ditulis nama orang-orang yang sama-sekali tidak ada perannya dalam Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II, apalagi dalam “melahirkan Sumpah Pemuda.” Beberapa nama yang ditulis hanya merupakan tamu yang samasekali tidak ikut berbicara, apalagi berperan. 

Belakangan ini dimunculkan beberapa nama pemuda bangsa Cina, seolah-olah pemuda-pemuda bangsa Cina ikut berperan dalam “Sumpah Pemuda” yang tidak pernah ada. Juga tidak tidak dijelaskan mereka mewakili organisasi pemuda mana, karena peserta Kongres Pemuda II adalah 9 organisasi pemuda pribumi. Bangsa Cina dan bangsa Arab pada waktu itu baru menikmati status sosial sebagai penduduk kelas dua, di atas status sosial pribumi.

Yang paling janggal adalah, pedagang bangsa Cina yang menyewakangedung tempat penyelenggaraan acara, juga ditulis sebagai “tokoh” yang berperan dalam “lahirnya Sumpah Pemuda.” Dia bukan pemilik gedung, melainkan hanya pemegang HGB (Hak Guna Bangunan), yang menyewakan gedungnyamenjadi tempat kos dan pertemuan para pemuda pribumi. Setelah masa berlakuknya HGB habis, gedung tersebut diambil kembali oleh Pemda DKI  dan kemudian dijadikan Museum Sumpah Pemuda. Jadi gedung tersebut disewa, bukan digunakan secara gratis. 

Sudah waktunya lembaga-lembaga yang berwenang untuk penulisan-penulisan sejarah, terutama untuk buku-buku pelajaran mengenai sejarah di sekolah-sekolah, melakukan penelitian ulang dan menulis baru, bukan sekadar revisi tulisan lama, agar generasi mendatang tidak lagi membaca sejarah yang salah. 

 
Jakarta, 28 Oktober 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement