Oleh : Indira Rezkisari*
REPUBLIKA.CO.ID, Menjaga protokol kesehatan. Bosan, ya, mendengar anjuran tersebut?
Saya sih, terus terang lelah sudah. Rasanya ingin menikmati membuka masker saat berkumpul dengan teman dan saudara saat di tempat publik. Tanpa ketakutan terinfeksi Covid-19.
Apalagi ketika kasus Covid-19 sedang rendah seperti saat ini. Rasanya ingin bisa merasakan juga kondisi seperti di Amerika misalnya yang sudah bebas menggelar konser. Atau melihat warga luar negeri bebas beraktivitas tanpa bermasker rapat. Sungguh senang melihat senyum di wajah yang tidak tertutup masker.
Ketika kasus kembali rendah di Tanah Air, euforia tersebut terasa memang. Apalagi pelonggaran saat ini sudah menyertakan pembukaan tempat wisata. Meski tempat wisata dibarengi aturan ketat, mulai dari harus sudah mengunduh aplikasi PeduliLindungi, hingga pembatasan jumlah wisatawan, tapi masyarakat menyambut riang pembukaan tempat hiburan tersebut.
Satu setengah tahun berselang, hidup berdampingan dengan pandemi memang tidak mudah. Masyarakat sebagian sudah jenuh. Berlibur menjadi sarana bagi masyarakat untuk menghibur dirinya.
Berlibur di masa pandemi tapi tidak semudah sebelumnya. Mereka yang berlibur ke luar negeri sekarang harus meluangkan waktu ekstra dan dana lagi untuk menjalani karantina.
Izinkan saya mengutip pernyataan seorang dokter relawan Covid-19 Muhammad Fajri Adda’I. Ia mengatakan, mereka yang karantina bisa menanamkan niat bahwa karantina dilakukan untuk kepentingan bersama.
Poin tersebut, demi kepentingan bersama, harus digarisbawahi. Bahwa di masa pandemi, masyarakat harus memahami apapun itu yang mereka lakukan semua bisa berdampak ke orang lain. Inilah sifat penyakit komunal seperti Covid-19. Mereka yang tertular, besar kemungkinan tertular dari orang lain, dan sangat mungkin menularkannya kembali ke orang lain.
Karena itu regulasi terkait Covid-19 dibuat untuk keamanan dan kenyamanan masyarakat. Aturan karantina misalnya ditujukan agar masyarakat dapat beraktivitas kembali tanpa memicu lonjakan kasus.
Virus, menurut Fajri, membutuhkan makhluk hidup untuk membawa dan menyebarkannya, salah satunya melalui perjalanan internasional. Karena itu, proses karantina sangat esensial untuk mencegah terjadinya penyebaran virus, sekaligus untuk perlindungan diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Penetapan lamanya karantina yakni lima hari, kata Fajri, salah satunya berdasarkan masa inkubasi virus varian Delta. Diketahui, 90 persen virus Covid-19 yang beredar di dunia termasuk Indonesia, adalah varian yang memiliki masa inkubasi 3, 4, sampai 5 hari tersebut.
"Selain itu, poin pentingnya adalah dua kali testing saat karantina,” kata Fajri dalam diskusi daring, Kamis (28/10).
Artinya, berwisata di masa pandemi bukan tidak mungkin. Hanya masyarakat harus tahu diri dan patuh aturan.
Sama seperti tidak memaksakan liburan ketika kondisi tubuh tidak sehat. Juga mau berinisiatif mengisolasi diri sendiri setelah liburan atau dari luar kota selama setidaknya lima hari untuk memastikan dirinya sehat dan tidak mencemari orang lain.
Hidup di masa pandemi memang tidak mudah akibat segala keterbatasan tersebut. Tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan.
Saat pemerintah memutuskan meniadakan cuti akhir tahun, bukan berarti masyarakat dikekang. Liburan selalu berpotensi menaikkan mobilitas masyarakat dan tingginya mobilitas adalah salah satu penyebab kenaikan kasus Covid-19.
Apalagi pemerintah sudah memperkirakan bahwa hingga akhir 2021, target 70 persen masyarakat tervaksinasi penuh belum akan tercapai. Masyarakat juga harus ingat kalau di akhir tahun akan ada banyak kelompok masyarakat yang meski sudah divaksinasi penuh namun waktu terakhir divaksinnya telah lebih dari enam bulan. Potensi penurunan imunitas dari vaksin, terutama bagi yang belum pernah positif Covid-19, sangat mungkin.
Karena itu kewaspadaan harus tetap dijaga. Jika ingin berlibur atau berwisata, lakukanlah dengan tanggung jawab.
Bila memang Covid-19 tidak bisa hilang, setidaknya manusia bisa belajar hidup berdampingan. Jangan egois karena masyarakat harus selalu mengingat sifat Covid-19 sebagai penyakit komunal.
Indonesia tentu tidak ingin mengalami lonjakan kasus kembali. Jika lonjakan kasus terjadi minimal dampaknya bisa diredam.
Lihat Singapura yang pada Rabu (27/10), mengalami lonjakan kasus Covid-19 tertingginya sepanjang sejarah pandemi. Baru pada saat ini setelah lebih dari 80 persen populasinya divaksinasi Covid-19 dosis penuh lonjakan kasus justru terjadi. Singapura namun beruntung karena jumlah kasus yang dirawat atau kritis tergolong kecil. Inilah efek vaksinasinya yang diharapkan.
Di Singapura, selama 28 hari terakhir, 98,7 persen pasien yang terinfeksi adalah tanpa gejala atau bergejala ringan. Sisanya, 0,9 persen membutuhkan suplementasi oksigen dan 0,1 persen kasus menjalani perawatan di ICU dalam kondisi belum stabil. Serta masih ada sisa 0,1 persen lagi pasien yang dalam kondisi kritis di ICU.
Berkaca dari Singapura, kita bisa melihat pentingnya vaksinasi dan tetap menjaga prokes. Tanpa dua itu niscaya kehidupan yang lebih baik akan sulit diraih.
Bagi saya, turut aturan dan anjuran pemerintah jadi gaya hidup terbaik. Meski bosan rasanya ikut aturan 3M bahkan 5M, tapi bila itu membuat saya bisa liburan, bisa sehat, diikuti sajalah.
Toh sekarang kita merasakan efeknya, kasus Covid-19 di Tanah Air bisa rendah dan pelonggaran demi pelonggaran dirasakan. Bila nanti di akhir tahun tidak bisa berlibur, saya tidak mempersalahkan. Karena kenaikan kasus di tengah tahun ini sungguh belum terlupakan. Apalagi karena itu saya banyak kehilangan orang-orang berarti dalam hidup.
Salam tetap prokes selalu.
*Penulis adalah jurnalis Republika.co.id