REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan muka air laut dan kerusakan lingkungan kelak menenggelamkan kota-kota di kawasan pesisir. Menurut Panel Iklim PBB, solusinya beragam dan tidak bersifat tunggal. Namun, waktu untuk bertindak sudah lewat.
Selama ribuan tahun, umat manusia sudah mendiami kawasan pesisir, mewariskan gemerlap metropolitan di tepi laut, dilatari cakrawala tak berbatas, di balik perlindungan teluk atau limpahan kenyamanan delta, dengan keyakinan tinggi telah berhasil menguasai siklus pasang-surut air laut.
Dominasi terhadap samudera lepas, mencuatkan kota-kota di pesisir sebagai pusat perdagangan dunia dan wadah percampuran budaya. Tapi apa yang dulu menjadi kekuatan, kini menjelma menjadi kelemahan, seiring krisis iklim yang perlahan mengubah lanskap Bumi.
Peringatan itu dipublkasikan dalam studi yang dibuat panel ilmu iklim PBB, yang mengungkap ancaman terhadap iklim Bumi secara detail dan terperinci.
Kenampakan dari atas, kota terlihat kian menyatu dengan laut. Menara-menara menyembul tinggi di atas lahan reklamasi, jalan-jalan meliuk mengikuti bibir pesisir dan landasan bandar udara yang membentang hanya selemparan tangan dari gulungan ombak di tepi pantai.
Kota-kota ini adalah "medan terdepan” dalam perang melawan perubahan iklim, tulis Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) dalam laporannya pertengahan tahun 2021.
"Kita harus membuat keputusan sulit jika permukaan air laut terus meningkat, banjr dan badai menjadi lebih sering dan intensif, kenaikan suhu ikut meningkatkan keasaman air laut, serta memperparah gelombang panas.”
Di banyak tempat, kenaikan muka air laut dan perubahan pada lanskap pesisir seperti penurunan muka tanah akan memaksa migrasi massal. Ini membuat kota-kota menjadi tak ramah kehidupan. Saat ini pun gejalanya sudah terlihat.
"Dulu keluarga kami punya segalanya, hewan ternak, rumah yang cantik dan lahan perkebunan. Tapi sungai mengambil semuanya,” kata Yasmin Begum kepada AFP, saat ditemui di sebuah gubug seng di tepi ibu kota Bangladesh, Dhaka.