REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mimi Kartika
Masyarakat pada masa kini seyogiyanya dapat mencerna informasi atau berita dengan baik serta memastikannya benar dan dapat dipertanggungjawabkan sebelum menyebarluaskannya kembali. Oleh karena itu, literasi media menjadi hal yang sangat penting pada era media sosial.
"Bahwa setiap masyarakat mendapatkan informasi atau berita itu bisa mencernanya terlebih dahulu dengan baik sebelum buru-buru ingin me-share. Sehingga yang di-share itu sudah dipastikan betul memang bisa dipertanggungjawabkan dan benar," ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Irfan Junaidi dalam bincang literasi media dan informasi secara daring, Kamis (28/10) pekan lalu.
Dia juga mengingatkan, warga untuk tidak fokus pada satu sumber informasi agar perspektif semakin makin kaya. Menurut Irfan, polarisasi yang terjadi pada masyarakat saat ini merupakan akibat dari miskinnya perspektif dan hanya menganggap sudut pandangnyalah yang benar.
Masyarakat menjadi mudah menyalahkan perspektif atau pandangan orang lain.
Bahkan, menurutnya, sikap tersebut tidak hanya terjadi pada masyarakat akar rumput, melainkan juga para elite.
Untuk itu, Irfan berharap masyarakat dapat melihat atau mencari informasi atau berita yang beragam dari berbagai sumber demi memperkaya perspektif dan mencegah polarisasi. Perbedaan perspektif itu diharapkan timbul dialektika positif di masyarakat, daripada saling menyalahkan.
"Kan bahaya sekali kalau punya mindset seperti itu. Diharapkan masyarakat kita jangan mau harus melawan ketika disodorin yang sama sudah enggak mau baca atau cari yang lain," kata dia.
Di sisi lain, dia berharap perusahaan media benar-benar menerapkan prinsip dasar jurnalisme. Dengan demikian, hasil karya jurnalisme itu bisa memberikan manfaat kepada masyarakat secara berdaya.
"Bayangkan kalau kita semua bercita-cita hanya mau menghadirkan konten-konten yang bagus, sehat, kalau semuanya seragam mau melakukan itu, otomatis konten-konten yang ngaco-ngaco itu akan menyingkir. Karena orang tahu kalau mau yang bagus lihat ke situ saja," tutur Irfan.
Pengamat media sosial dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rulli Nasrullah, mengatakan, masyarakat memerlukan edukasi dan literasi media. Menurut dia, saat ini sebagian besar masyarakat lebih banyak membaca berita dari media sosial (medsos) ketimbang media massa sebagai sumber utamanya.
Padahal, jumlah karakter dalam medsos, contohnya Twitter sangat terbatas, sehingga berita atau informasi yang disajikan tidak utuh. Bisa saja publik hanya melihat satu unggahan tanpa membaca unggahan lainnya yang menjadi bagian dari penjelasan atas berita yang disampaikan.
Menurut dia, media massa perlu memberikan edukasi kepada masyarakat untuk memilah berita maupun informasi. Saat ini, tidak semua media massa menyiapkan lembaga pendidikan, termasuk pelatihan bagi calon jurnalis.
"Budaya kita ini sudah berubah, budaya yang sangat berubah, tetapi adaptasinya tidak berubah," kata Rulli.
Sementara itu, Anggota Bidang Pendidikan, Etik, san Profesi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Dian Yuliastuti berharap masyarakat sebagai konsumen berita dari media massa cerdas dan memiliki kemampuan literasi yang baik. Menurutnya, masih banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan media massa dan media sosial.
"Mohon maaf, masih banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan media massa dan media sosial," kata Dian.
Dia menuturkan, siaran wawancara di Youtube seseorang atau media sosial lainnya dianggap sebagai bagian dari produk media massa. Padahal, dalam konteks jurnalistik, terdapat aturan dan tahapan dalam wawancara, sehingga tidak asal melontarkan pertanyaan.
Produk jurnalistik juga dihasilkan demi kepentingan publik, bukan kepentingan individu. Sebab, media massa mempunyai tugas memberikan informasi yang akurat melalui proses verifikasi dan konfirmasi kepada masyarakat berdasarkan kepentingan publik secara luas dan umum.
"Kita menyajikan berita dengan konfirmasi, dengan data, dengan melalui proses yang panjang," tutur Dian.