Jumat 05 Nov 2021 01:06 WIB

Pascapandemi, Emisi CO2 Diperkirakan Kembali Meningkat

Pergerakan dan aktivitas manusia dibatasi saat pandemi sehingga emisi karbon turun.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Dwi Murdaningsih
Suasana kawasan jalan protokol di Jakarta, Jumat (8/10/2021). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 35 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) pada 2030 melalui sejumlah aksi mitigasi mulai dari sektor energi hingga pengolahan limbah.
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Suasana kawasan jalan protokol di Jakarta, Jumat (8/10/2021). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 35 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) pada 2030 melalui sejumlah aksi mitigasi mulai dari sektor energi hingga pengolahan limbah.

REPUBLIKA.CO.ID, GLASGOW -- Emisi karbon dioksida global diprediksi akan pulih mendekati level sebelum Covid-19. Jumlah gas pemanas planet tersebut yang dilepaskan pada tahun 2020 turun 5,4 persen. Pandemi memaksa negara-negara untuk melakukan lockdown. Pergerakan dan aktivitas manusia dibatasi sehingga emisi karbon turun.

Namun sebuah laporan ilmiah oleh Global Carbon Project memperkirakan emisi CO2 akan meningkat sebesar 4,9 persen tahun ini. Ini menunjukkan kendala untuk membatasi kenaikan suhu ke ambang kritis 1,5C.

Baca Juga

Peningkatan karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan ke atmosfer ini menggarisbawahi urgensi tindakan di puncak seperti COP26 di Glasgow, kata para ilmuwan, dilansir di BBC, Kamis (4/11).

Kesepakatan penting telah dicapai pada pertemuan minggu ini, tentang pembatasan emisi metana dan pembatasan deforestasi. Namun emisi dari batu bara dan gas diperkirakan akan tumbuh lebih banyak pada tahun 2021 daripada penurunan tahun sebelumnya, meskipun karbon yang dilepaskan dari penggunaan minyak diperkirakan akan tetap di bawah tingkat 2019.

"Di situlah kejutan datang bagi saya, bahwa itu terjadi begitu cepat, dan juga ada kekhawatiran bahwa masih ada pemulihan yang akan datang," ujar Dr Glen Peters, dari Pusat Penelitian Iklim Internasional (Cicero) di Oslo.

Peningkatan cepat dalam emisi ini bertentangan dengan pengurangan CO2 ambisius yang diperlukan untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5C. Ini adalah peningkatan yang dilihat oleh para ilmuwan sebagai pintu gerbang ke tingkat pemanasan global yang berbahaya.

Laporan Anggaran Karbon Global tahunan ke-16 disusun oleh lebih dari 94 penulis yang menganalisis data ekonomi dan informasi tentang emisi dari aktivitas lahan, seperti kehutanan.

Ini menunjukkan bahwa, jika kita terus seperti apa adanya dan tidak mengurangi emisi, ada kemungkinan 50 persen untuk mencapai pemanasan 1,5C dalam waktu sekitar 11 tahun. Ini sependapat dengan temuan dalam laporan PBB baru-baru ini yang menyarankan kita akan sampai di sana pada awal 2030-an.

Prof Corinne Le Quéré, dari University of East Anglia mengatakan bahwa untuk membatasi perubahan iklim hingga 1,5C, emisi CO2 harus mencapai nol bersih pada tahun 2050. 

"Melakukan ini dalam garis lurus berarti mengurangi emisi global hingga 1,4 miliar ton CO2 setiap tahun," kata Prof Le Quéré.

Penurunan pada tahun 2020 adalah 1,9 miliar ton, tetapi itu karena kita berada dalam lockdown. Jadi mengurangi emisi dengan jumlah yang kira-kira setara dengan yang di periode pasca-lockdown menghadirkan tantangan yang menakutkan. Tetapi para ilmuwan menekankan bahwa itu tetap dapat dicapai. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement