Jumat 05 Nov 2021 19:03 WIB

Rektor UNU Yogyakarta Kritik Permendikbud: Tidak Jelas

Rektor UNU Yogyakarta menilai logika Permendikbud liberal

Rep: Andrian Saputra/ Red: Nashih Nashrullah
Rektor UNU Yogyakarta menilai logika Permendikbud liberal. Ilustrasi kekerasan seksual
Foto: ant
Rektor UNU Yogyakarta menilai logika Permendikbud liberal. Ilustrasi kekerasan seksual

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dinilai memiliki banyak persoalan. 

Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta yang juga pakar kebijakan publik, Prof Dr Purwo Santoso mengatakan kerangka kebijakan (policy framework) Permendikbudristek tanggung dan tidak jelas. Salah satunya ditandai dengan adanya Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. 

Baca Juga

Padahal menurut Prof Purwo setiap kampus telah memberikan tugas pada masing-masing civitas kampus semisal wakil rektor bidang kemahasiswaan untuk mengurusi terkait langsung dengan mahasiswa.  

Selain itu sanksi dalam Permendikbud  juga menimbulkan pertanyaan. Sebab menumbuhkan pertanyaan apakah rektor dapat mengambil alih tugas polisi dalam penindakan  terjadinya kekerasan seksual di kampus.  

"Di sana kan sudah ditetapkan sanksi dan tindak lanjut dan seterusnya. Ini apakah kita rektor diwajibkan mengambil alih tugas polisi. Kan ada pelanggaran, korban, kriminalisasi. Ini urusan polisi atau universitas. Ini ngga jelas. Dan kalau urusannya pidana, apakah menindak menggunakan pasal pasal itu menjadi penting?  Karena mestinya urusan tentang pelecehan dan kekerasan seksual itukan sudah ada undang undang umumnya," kata Prof Purwo.  

Pada sisi lain, menurut Prof Purwo Permendikbud dibangun logika liberal. Hal itu terlihat dalam pendefinisian kekerasan seksual pada pasal 5.  

"Logika (menteri) Nadiem itu logika liberal, yang jadi acuan itu perasaan dipaksa dan tidak dipaksa, consent, persetujuan. Itulah yang saya kira menjadikan ukuran-ukuran yang dipasang itu menjadi kontroversial,” kata dia. 

Jadi menurut Prof Purwo, urusannya suka tidak suka, setuju tidak setuju, bukan dalam pernikahan atau tidak dalam pernikahan, jadi logikanya ini yang menjadikan seks di luar nikah yang disetujui antara pihak itu jadi normal, disitulah yang menjadikan kontroversial. 

“Dan kalau itu diserahkan kepada rektor, rektor malah tidak mengurusi pembelajaran. Lalu menjadi asisten polisi," kata Prof Purwo. 

Prof Purwo mengatakan, sehingga kalau memeperlihatkan kelamin dalam persetujuan dan yang bersetuju itu tidak dalam pernikahan maka itu jadi boleh begitu? Itu standar liberal. Jadi justru di situlah yang menjadi kontroversi. 

“Jadi kata consent, kesepakatan, persetujuan yang ada di pasal-pasalnya itulah yang menunjukan bahwa pasal pasal ini pasal liberal, nalar liberal, frameworknya liberal dan pada saat yang sama rektor itu disuruh menjadi asisten polisi," katanya.            

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement