REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Diaspora merupakan perantau atau orang yang meninggalkan kelahirannya untuk pergi ke negara lain dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik dibanding di negaranya sendiri. Diaspora Indonesia atau orang Indonesia menjadi istilah yang berlaku bagi orang-orang yang lahir di Indonesia dan berdarah Indonesia yang menjadi warga negara tetap atau menetap sementara di negara asing.
Berdasarkan hal tersebut, Rakornas (Rapat Koordinasi Nasional) Aptikom (Asosiasi Pendidikan Tinggi Informatika dan Komputer) 2021, melalui rangkaian virtual event Diaspora Talk menghadirkan narasumber yang andal dan tinggal serta berkarier di luar negeri.
Rangkaian kegiatan yang sudah berjalan selama 4 hari sejak 1 November 2021 ini, dilangsungkan secara daring melalui zoom dan youtube Aptikom TV dan luring di Aula kampus Universitas Nusa Mandiri (UNM) kampus Margonda, Depok, Kamis (4/11).
Diaspora Talk yang dipandu oleh Dr rer nat Cecilia Esti Nugraheni ini juga dihadiri oleh sekretaris jenderal Aptikom Prof Dr rer nat Achmad Benny Mutiara, rektor Universitas Nusa Mandiri (UNM) Dr Dwiza Riana, dekan Fakultas Teknologi Informasi UNM Anton, dan ketua prodi Sains Data UNM, Tati Mardiana.
Sebagai penutup Diaspora Talk, Aptikom menghadirkan Prof Ir Juhaeri Muchtar yaitu wakil presiden dan kepala ilmu keselamatan Global Sanofi, New Jersey, sekaligus dosen di University of North Carolina.
Dalam paparannya, Prof Juhaeri menyampaikan permintaan maaf sebab tidak dapat melakukan telekonferensi secara real time menggunakan zoom. Hal itu karena perbedaan waktu di Indonesia dengan tempat tinggalnya sekarang di Amerika Serikat. “Saya akan memberikan paparan yang masih hangat saat ini, yaitu berkaitan dengan Covid-19. Namun, saya akan lebih memusatkan pada unsur-unsur inovasi,” tutur Prof Juhaeri, Kamis (4/11).
Ia mengatakan, banyak sekali hal-hal yang dapat dibahas dalam hal Covid-19, termasuk epideomiologi, virologi, aspek sosial politik, ekonomi dan sebagainya. “Namun, mengingat fokus Indonesia ke revolusi industri 4.0, semoga topik ini tepat untuk menambah semangat masyarakat di Indonesia,” ujarnya.
Ia menjelaskan, fokus pembicaraan kali ini adalah Covid-19, bukan hanya bicara pada aspek tantangannya tapi juga aspek kesempatannya. “Virus yang jenisnya sama dengan Covid-19 ditemukan mulai awal abad 20, dimulai tahun 1931 yang asalnya dari nyamuk,” ujarnya.
Sedangkan, yang paling dekat dengan penyebaran Covid-19 pada tahun 2003 yaitu SARS COV (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus) yang berasal dari kelelawar dan kucing hutan. “Inilah alasan kenapa Covid-19 pada tahun 2019 yang ditemukan di Wuhan, China dinamakan SARS COV 2 sebab memiliki kemiripan dengan pandemi tahun 2003,” jelasnya.
Profesor yang masa kecilnya di Majalengka ini mengungkapkan, sebagai ilustrasi ia pusatkan pada inovasi di bidang vaksin untuk pencegahan dan di bidang figment untuk pengobatan. “Proses pengembangan vaksin dan obat itu membutuhkan waktu yang sangat lama, karena prosesnya panjang dan berlapis-lapis. Dimulai dari pre-clinical, yaitu pada saat mengevaluasi pharmacokinetics dan pharmacodymanic,” terangnya.
Lanjutnya, sebagaimana vaksin dan obat bekerja ditubuh manusia hingga ke fase pertama keamanan, fase kedua efektivitas, fase ketiga membandingkan dengan plausible dan fase keempat pada saat di masyarakat. “Semua proses ini bisa lebih dari 10 tahun, kadang-kadang bisa sampai 14 tahun. Karena Covid-19 harus bekerja lebih keras,” pungkasnya.
Ia menambahkan, melalui jurnal Amerika yaitu Operation Warp Speed, proses pengembangan vaksin dan obat Covid-19 ini yang awalnya 14 tahun, dapat disingkat menjadi 14 bulan.
“Bayangkan hanya 14 bulan saja bisa selesai. Begitulah kerja dari tantangan dan kesempatan Covid-19 ini bisa membuat manusia lebih inovatif dan kreatif hingga mampu menyingkat waktu proses pengembangan vaksin dan obat yang biasanya begitu lama, memakan waktu 10-14 tahun,” tandasnya.